21 Oktober 2009

HENDAKLAH TERANGMU BERCAHAYA



Matius 5:13-16, 6:22-23

Mengapa orang selalu menyalakan lampu, entah itu lilin, senthir, teplok, pelita, dian, pandam, dan berbagai sebutan yang lain, pada waktu malam? Sederhana jawabnya. Karena kalau dinyalakan siang hari, terang yang terpancar tidak bisa dirasakan, kalah dengan terang yang terpancar dari matahari. Di samping itu, orang baru merasa butuh penerangan kalau ia berada dalam kegelapan. Sekecil apa pun terang itu, pasti berguna bila ia berada di tengah kegelapan. Bahkan sepekat apa pun kegelapan itu.

Identitas yang diberikan Yesus pada murid-murid serta pengikutNya sederhana: “Kamu adalah terang dunia.” Konsekuensinya adalah kita harus bisa menunjukkan “terang” kita. Namun ketika kita melihat betapa pekat dan kelamnya kegelapan yang ada, ketakutan dan kebimbangan segera menyergap kita. Akhirnya, daripada mencoba untuk menunjukkan terang, kita malah menutupinya agar tidak terlihat menyolok bila ditengah kegelapan. Atau, kalau pun berani memancarkan terang, itu hanya terjadi di siang hari, serta bersama-sama dengan banyak terang yang lain. Takut berkorban, takut rugi, dan takut-takut yang lain menghinggapi perasaan kita.

Memang kita hidup di zaman yang aneh. Ketika orang justru lebih suka membeberkan keburukan orang lain daripada kebaikannya. Ketika orang lebih suka mencibir orang lain daripada membantunya. Ketika kejujuran dianggap sebagai sebuah kehancuran. Ketika suara nurani dibilang tidak tahu diri. Bahkan ketika orang takut menyatakan kebenaran, karena dunia kita sudah terbisa dengan yang tidak benar. Namun justru di tengah situasi seperti itulah sabda Yesus terasa kembali aktual. Bukankah lampu – apa pun macam dan jenisnya – harus dengan sekuat daya memberikan nyalanya agar terangnya bermanfaat. Seperti halnya garam yang harus larut terlebih dahulu agar masakan terasa sedap.

Yesus telah mengatakan bahwa kita adalah terang. Jadi bersinarlah!

KONSEKUENSI DARI SEBUAH KONSISTENSI


2 Samuel 6:1-5, 12b-19, Mazmur 24, Efesus 1:3-14, Markus 6:14-29

Maut menghampiri Yohanes Pembaptis melalui Herodes. Kepala Sang Pembuka Jalan itu harus terpisah dengan tubuhnya hanya karena Herodes mau mencoba konsisten dengan apa yang telah dijanjikannya kepada anak perempuan Herodias. Justru Herodiaslah yang sakit hati pada Yohanes ketika Herodes memperistrinya, walau ia sudah bersuamikan Filipus, saudara Herodes. Akhirnya kesempatan itu tiba. Herodes berjanji akan memberikan apa saja yang diminta anak perempuan Herodias, yang telah membuatnya terpana dengan tariannya. Melalui anaknya, Herodias meminta kepala Yohanes Pembaptis berada di talam. (Markus 6:25) Herodes konsisten dengan kata-katanya, walau sebenarnya hatinya sedih. Konsekuensi dari konsistensinya membuat seorang hamba Tuhan tewas.

Berbicara soal konsistensi, tentu kita tidak bisa tidak, kita harus juga berbicara tentang Yohanes Pembaptis. Sejak semula ia konsisten menjalani peran yang diberikan Tuhan padanya. Sebagai pembuka jalan bagi Yesus, ia melakukan dengan setia, walau mungkin dianggap aneh oleh orang sekitarnya. Keberaniannya untuk menyatakan kebenaran Allah tidak pandang bulu. Ia berani mengkritik penguasa yang berlaku salah – dalam hal ini Herodes. Konsekuensi dari konsistensi Yohanes adalah kematian yang mengerikan. Daud rela dipandang rendah oleh istrinya, Mikhal. Dalam prosesi pemindahan Tabut Perjanjian, ia menari dengan hanya memakai baju efod, baju lapisan luar dari jubah imam yang tidak menutupi seluruh tubuhnya. (2 Samuel 6:14-16) Ia konsisten menghormati Tuhan dan kesucian Tabut-Nya dengan menunjukkan kemurniannya hatinya dengan hanya memakai baju efod.

Pertanyaan yang harus kita pergumulkan dan jawab saat ini adalah: apakah kita konsisten dengan panggilan kita, sebagaimana dinyatakan dalam Efesus 1:4 “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.” Kita dipilih Tuhan agar kita hidup kudus dan tak bercacat dihadapan-Nya. Kalau kita konsisten dengan pemilihan itu, maka adalah hidup kita harus menyatakan kesucian dan kemurnian serta kekudusan Allah. Ini tidak mudah karena tawaran untuk hidup dalam noda dan ketidaksucian sangat menggoda. Bahkan bisa jadi, kita akan ditinggalkan oleh banyak orang jika kita konsisten menjalani panggilan dalam kesucian ini. Beranikah kita untuk tetap konsisten dan siap untuk menerima konsekuensinya? Amin.

|d|c|a|c|

SULIT, TETAPI MUNGKIN

Ayub 23:1-17; Mazmur 90:13-17; Ibrani 4:12-16; Markus 10:17-31

Walaupun pada akhirnya ia bisa menerima semua penderitaannya (pasal 42), Ayub sempat mengalami ketegangan dalam dirinya. Ia merasa bahwa semua yang terjadi atas dirinya adalah bukan karena kesalahannya. Bahkan ia sempat menyalahkan Tuhan (ayat 17). Tidak hanya sekali ia merasa benar. Kalau kita mencermati pasal 3, 10, 13 dan 31 kita akan menemukan bahwa Ayub terus merasa tidak bersalah dan membela diri atas semua yang terjadi. Ayub sulit untuk menerima kondisinya. Ia merasa menyesal telah dilahirkan dan hidup, namun pada akhirnya ia benar-benar merendahkan diri di hadapan Tuhan. Akhirnya Tuhan memulihkan keadaannya. Suatu perubahan yang luar biasa sulit, tetapi bisa dilakukan Ayub.

Sama halnya dengan kisah pengajaran Yesus mengenai betapa sulitnya orang kaya masuk dalam kerajaan Allah. Yesus bahkan memberi perbandingan lebih mudah onta melewati lobang jarum ketimbang orang kaya masuk kerajaan Allah (ayat 25). Hal ini terjadi karena umumnya orang akan lebih berat meninggalkan hartanya daripada meninggalkan yang lain (Mrk 10:22). Apakah memang tidak ada kemungkinan bagi orang kaya untuk masuk dalam kerajaan Allah? Masih mungkin! Asalkan dia bisa melepaskan kelekatan pada hartanya. Mungkin sedikit, atau bahkan sangat sulit. Sesulit onta yang melewati lobang jarum. Lobang jarum adalah pintu kecil yang ada di sekeliling tembok kota Yerusalem, sebagai sarana keluar masuk orang ketika pintu gerbang utama telah ditutup saat malam (istilah bahasa Jawa: “lawang butulan”). Besarnya biasanya hanya seukuran orang. Onta bisa melewatinya, namun dibutuhkan usaha keras, baik dari onta maupun pemiliknya. Memang sulit, tetapi mungkin untuk dilakukan.

Hari ini kita memasuki Masa Penghayatan Hidup Berkeluarga (MPHB). Tema MPHB tahun ini adalah “Keluarga Peduli Lingkungan.” Mungkin saat ini sebagai keluarga kita bisa saja merasa benar seperti Ayub. Kerusakan lingkungan, gundulnya hutan, banjir, pemanasan global bisa jadi memang bukan salah kita. Kita terlahir dan berada di bumi yang kondisinya sudah semakin kritis juga bukan salah kita. Akan tetapi apalah persoalannya akan usai kalau kita hanya sibuk membela diri dan merasa benar? Tidak! Kita harus berubah! Mengubah paradigma berpikir dan bahkan mengubah pola hidup kita agar kerusakan bumi bisa kita kurangi. Sulit? Bisa jadi sangat sulit! Apalagi kalau kita sudah terbiasa dengan pola hidup yang tidak ramah dengan lingkungan. Akan tetapi sesulit apa pun itu, masih dimungkinkan bagi kita untuk bertindak. Mari kita membangun optimisme untuk menyelamatkan bumi bagi anak cucu kita. Sulit, tetapi mungkin! Amin.

|d|c|a|c|

25 Juni 2009

MASIH ADAKAH...?

1 Raja-raja 17:7-16

Sering kita menemukan bahwa “kekurangan” bisa membuat orang lupa segala-galanya, menghalalkan segala cara, bahkan melakukan kejahatan. Cobalah tengok sejenak berbagai tayangan kriminal di televisi. Ada orang yang terpaksa mencuri karena butuh makan, terpaksa membunuh untuk mendapatkan uang atau bahkan terpaksa memperkosa karena tidak bisa menahan luapan syahwat. Berbagai situasi “kekurangan” membuat orang terpaksa melakukan, bahkan kadang yang diluar nalar sekalipun. Namun, apakah situasi kekurangan itu selalu bermuara pada kejahatan?

Kisah dramatis, yang kalau kita cermati, bisa menyentuh hati kita. Alkisah, bangsa Israel sedang dihukum Tuhan dengan kekeringan. Jangankan hujan, embun pun tidak akan membasahi tanah Israel. (17:1) Bahkan hukuman itu juga dirasakan Elia, nabi Allah yang taat. Ia sempat bertahan beberapa saat di Sungai Kerit, namun karena dahsyatnya kekeringan yang melanda, Sungai Kerit pun kerontang. Dalam situasi seperti itu, ia diperintahkan Tuhan untuk berjalan menuju Sarfat, wilayah Sidon, di bagian Utara Israel.

Elia kemudian berjalan menuju Sarfat. Setibanya di sana ia bertemu dengan seorang janda yang sedang mencari kayu bakar. Elia minta minum kepadanya. Belum juga permpuan tadi mengambil air minum, Elia menambahkan permintaannya. Ia meminta roti. (ay. 11) Ternyata sang janda tidak lebih baik dari Elia. Ia sedang mencari kayu bakar untuk memasak sisa tepung dan minyak persediaannya yang terakhir. Di sini suasana yang menggetarkan terjadi. Elia meminta si janda membuatkan roti baginya terlebih dahulu, baru kemudian ia membuat untuk anak dan dirinya sendiri. Aneh dan luar biasa! Jika biasanya orang menolak memberikan sesuatu dari keterbatasan miliknya, bahkan dengan dalih keterbatasan ia menghalalkan segala cara, si janda ini sungguh lain! Hanya berbekal pada janji yang disampaikan Elia bahwa minyak dan tepungnya tidak akan habis, sang janda merelakan adonan pertama dari rotinya untuk mengobati kelaparan Elia. Di tengah keterpurukan situasi karena kekeringan melanda. Di tengah keterbatasan persediaan makanan, janda Sarfat menunjukkan pelajaran yang sungguh amat berarti. Ia rela untuk berbagi makanan dengan Elia, seorang asing yang baru ditemuinya ketika ia mencari kayu bakar. Ia tulus menerima Elia dengan segala ketiadaannya. Ia memberikan justru pada saat ia membutuhkan. Inilah pemberian yang terbaik! Pemberian yang muncul bukan dari kelimpahan, melainkan berdasarkan kekurangan dan keterbatasannya.

Berbeda dengan situasi kita. Kekurangan dan keterbatasan sering kita pakai sebagai dalih untuk tidak berbuat baik. Bahkan, seperti fakta yang saya ungkapkan di atas, keterbatasan justru menjadi sebuah alasan untuk melegalkan tindakan kejahatan. Lebih dalam lagi. Ketulusan untuk memberikan yang sama dengan yang ia nikmati, ketulusan yang tanpa pamrih, tanpa menuntut balasan. Ia berbagi roti dengan Elia tanpa menuntut imbalan, bahkan sebelum ia tahu bahwa janji Elia akan terbukti. Yang sering terjadi, kita pasti akan menuntut serentetetan permintaan sebelum kita memberikan sesuatu. Atau, ketika memberikan, kita menuntut imbalan. Bisa juga, kita hanya sekedar memberikan. Yang penting memberikan, tak jadi soal apakah pemberian itu berkualitas atau tidak. Atau lebih parah lagi, pemberian itu tidak didasari atas rasa tulus dan kebulatan hati.

Kalau kemudian kita sejenak mencoba merenungkan hidup yang kita jalani. Bukankah segenap hidup kita adalah pemberian dariNya? Tetapi apa jawab kita ketika Ia meminta kita memberikan sesuatu bagiNya? Adakah ketulusan itu menjadi jawaban? Atau keterbatasan menjadi dalih kita? Atau bahkan justru kita balik menuntut imbalan atas perintah dan kehendakNya bagi kita? Mungkin kita harus berbesar hati untuk mengakui iman kita tidak sebesar janda Sarfat, karena selama ini kita hanya menyisihkan sisa-sisa dari kita sebagai pemberian, bahkan kepada Tuhan. Kita baru bisa memberikan sisa waktu kita, sisa tenaga kita, sisa pikiran kita, sisa uang kita, bahkan sisa hidup kita. Jangankan untuk orang lain, lha wong untuk Tuhan saja kita bisa berbuat begitu.

Mari kita bercermin dan bertanya: masih adakah ketulusan itu? Mari kita jawab bersama dengan karsa dan karya. Amin.

WIND OF CHANGE[1]


Roma 12:1-2


Masihkah saudara mengingat tulisan di Buku Realisasi Program dan Anggaran Gereja GKJ Gandaria tahun 2005-2006? Kalau sudah lupa, saya sedikit mengingatkan. Tulisan tersebut terinspirasi dari pemikiran Mahatma Gandhi, Be The Change You Wish To Se In The World, yang didasarkan pada surat Paulus kepada jemaat di kota Roma. Intinya adalah tentang perubahan dan bagaimana harus berubah. Tulisan ini sebetulnya adalah kelanjutan dari tulisan di atas; tetap berbicara mengenai perubahan.

Berbicara mengenai perubahan, tiba-tiba saya teringat sebuah lagu yang ditulis dan dipopulerkan oleh grup musik rock asal Jerman, Scorpions, yang judulnya menjadi judul tulisan ini. Dalam refreinnya, dituliskan: “take me to the magic of the moment on a glory night, when the children of tomorrow dream away, in the wind of change…” Dalam terjemahan bebasnya, kira-kira mengisahkan sebuah kerinduan mengenai angin yang membawa perubahan yang lebih baik. Berubah menjadi lebih baik, itu kata kuncinya!

Seperti juga yang disampaikan oleh Paulus dalam suratnya – seperti yang tertulis di atas – perubahan ke arah yang lebih baik menjadi sebuah keharusan dalam kehidupan jemaat Kristen. Berubah untuk menjadi tidak serupa dengan dunia, berubah oleh pembaruan budi, sehingga dapat membedakan mana yang menjadi kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Dan yang lebih menarik lagi, hasil perubahan itu bukan untuk siapa-siapa, melainkah kembali untuk Tuhan di dalam wujud persembahan sejati demi kemuliaan namaNya (ayat 1-2).

Dari pemahaman di atas, kita bisa menemukan pembelajaran bahwa: pertama, hidup kita sebagai umatNya harus senantiasa berubah menjadi lebih baik dan terus menuju kesempurnaan. Kedua, dasar dari semua perubahan itu adalah pembaruan budi, dan hasil dari pembaruan itu adalah semakin mengerti akan kehendak Allah. Dan ketiga, semua proses itu berjalan dalam semangat untuk memberikan yang terbaik, demi kemuliaan Allah.

Dalam ketiga hal itulah GKJ Gandaria mencoba untuk bergerak. Mulai dengan berusaha membenahi semua yang ada dalam dirinya, meninggalkan kebiasaan lama, mencipta hal-hal baru. Seperti yang saudara lihat dalam wujud fisik buku ini. Buku bernama Buku Pelayanan Jemaat. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya yang terekam dalam buku ini bukan semata-mata hasil kerja Majelis, bukan juga semata-mata hasil karya Badan Pembantu Majelis, namun hasil dari seluruh cipta, rasa dan karsa dari segenap jemaat GKJ Gandaria. Dengan demikian, buku ini bukan juga merupakan laporan pertanggungjawaban Majelis kepada jemaat, karena baik Majelis maupun jemaat ikut bertanggungjawab dalam terwujudnya seluruh kegiatan yang terekam dalam buku ini. Dengan kata lain, buku ini ibarat cermin bagi semua yang merekam seberapa baik kita sudah berubah, apa yang sudah kita persembahkan bagi Tuhan.

Perubahan lain yang tampak adalah struktur dan pola pelayanan Majelis. Mulai dari pembidangan Majelis dengan tugas-tugas khususnya. Ini adalah hasil dari sebentuk perubahan untuk melayani lebih baik. Pemahaman mengenai Majelis kelompok – yang selama ini kita anut - dengan sendirinya sudah berganti menjadi Majelis GKJ Gandaria secara utuh dan penuh. Dengan pembidangan itu pula maka ranah pelayanan menjadi semakin konkret.

Dari tahun ke tahun, selalu ada data yang diwacanakan. Namun kadang data-data itu tidak “berbicara”, sehingga timbul kesulitan ketika hendak membacanya. Dalam Buku Pelayanan Jemaat itu, coba disajikan rangkaian data yang “berbicara” sehingga diharapkan mempermudah proses “berkaca.”

Pertanyaan bagi kita sekarang adalah: bagaimana bentuk kita setelah berkaca? Apakah sudah cukup baik, indah dipandang, atau masih ada lubang di sana-sini? Apakah wajah kita sudah bersih dan mulus, atau masih terdapat noda hitam di sana-sini? Yang diperlukan adalah sebuah kejujuran untuk mengakui, kalau pun ada yang kurang, sehingga bukan buruk muka cermin dibelah yang terjadi.

Paling tidak, angin perubahan itu sudah mulai menghembus ke arah kita. Kalau kita semua mengharapkan hal-hal yang lebih baik, mari bersama-sama kita berubah. Menjadi yang terbaik dan memberi yang terbaik bagi kemuliaan Kristus, dan biarlah Kristus dimuliakan dalam semua proses kita. Amin.


“…the wind of change blows straight into the face of time, like the storm wind that will ring the freedom bell for peace of mind…”





Nur Ilahi terpancar abadi, menerawang sukma, menebar asa...
Pdt. Didik Christian Adi Cahyono.


_____________________
[1] Wind of Change, sebuah lagu karya grup musik Scorpions asal Jerman. Tulisan ini dibuat untuk Buku Pelayanan Jemaat GKJ Gandaria 2007.

BE THE CHANGE YOU WISH TO SEE IN THE WORLD[1]

Roma 12:1-8


Hari ini, delapan tahun yang lalu, saya berada diantara ratusan, bahkan mungkin ribuan pemuda dan mahasiswa, memenuhi alun-alun utara keraton Yogyakarta, mendengarkan maklumat Sri Sultan Hamengku Buwono X yang mendukung gerakan reformasi mahasiswa. Hari itu semua toko-toko di sepanjang jalan protokol di kota pelajar itu tutup. Di depan toko, ruko, atau warung, bahkan rumah penduduk, disediakan beraneka makanan, mulai dari arem-arem, lemper, tempe, dan lain-lain sampai berbotol-botol air mineral. Semuanya disediakan untuk arak-arakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta yang berjalan dari kampus masing-masing menuju alun-alun utara. Sehari kemudian, Suharto mengundurkan diri.

Dalam hati saya terharu melihat partisipasi warga masyarakat Yogyakarta waktu itu. Mereka rela meninggalkan aktivitasnya, bahkan menyiapkan perbekalan untuk mahasiswa yang berdemo – yang juga lapar! Saya sempat saya mengajak ngobrol beberapa warga yang antusias melempar-lemparkan bungkusan makanan pada barisan mahasiswa di jalan Malioboro. Satu kesamaan alasan mengapa mereka melakukan itu; mereka ingin melihat perubahan! Karena begitu tingginya kerinduan untuk melihat perubahan, sampai mereka merelakan uang dan waktunya, untuk menyiapkan makanan bagi para demonstran. Mungkin pengorbanan para warga itu tidak seberapa, bila dibandingkan dengan pengorbanan para pahlawan reformasi dalam tragedi Trisakti, yang harus meregang nyawa demi satu harapan: perubahan.

Semenjak saat itu, wajah negeri ini berubah! Dulu, orang takut untuk mengungkapkan pendapat yang berbeda. Sekarang semua orang berteriak ingin pendapatnya didengarkan. Tak jarang ada pedapat yang asal berbeda. Akhirnya, semuanya jadi tidak beraturan. Sekali merdeka, merdeka sekali! Begitu mungkin semboyannya. Saking merdekanya, seorang pencuri sandal harus mati mengenaskan, dipukuli warga di depan Universitas Putra Bangsa, Surabaya. Saking merdekanya, di suatu Gereja X, ada yang merasa berhak memukul pendeta karena berbeda pendapat. Mungkin benar kata orang-orang: Itulah Indonesia!

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Setiap kita pasti menginginkan perubahan. Bahkan, tanpa sadar, kita sendiri juga mengalami perubahan itu. Delapan tahun yang lalu, saya masih atletis. Rambut saya tebal. Sekarang berubah menjadi gemuk dan rambut mulai menipis. Yah… memang benar bahwa tiada yang tidak berubah. Yang penting untuk kita pertanyakan sekarang adalah: perubahan yang bagaimana dan ke arah mana?

Paulus, di dalam suratnya untuk jemaat di Roma, dengan gamblang memberikan jawaban atas dua pertanyaan di atas di dalam ayat 2. Yang pertama adalah: tidak menjadi serupa dengan dunia. Situasi dan kondisi dunia kita sudah sedikit saya uraikan di atas. Sama-sama mencari nafkah, seseorang bisa menjadi tukang sapu jalan tol, yang lain bisa jadi bandar narkotika dan obat terlarang. Sama-sama ingin mendapatkan hiburan, yang satu pergi menemui majelis atau pendeta untuk bercurhat, yang lain tenggelam dalam napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif). Menurut saudara, mana yang serupa dengan dunia, mana yang tidak?

Yang kedua – ini poin pentingnya – adalah: berubah! Perubahan adalah suatu proses. Ada situasi awal, kemudian ada proses yang terjadi, lalu ada hasil dari keseluruhan proses. Hasil akhir ini bermacam-macam. Ada yang sama dengan situasi awal, ada juga yang sama sekali berbeda. Misal, ada seorang pencopet yang tertangkap. Kemudian dimasukkan ke dalam lembaga pemasyarakatan. Ketika keluar, dia bisa jadi orang baik-baik, atau bisa juga jadi perampok. Dia mengalami perubahan juga, tetapi yang mana?

Ayat 2 dengan gamblang menjelaskan bahwa perubahan itu harus didasari oleh pembaharuan budi. Tidak asal berubah, melainkan berubah menurut pembaharuan budi! Secara sederhana, bisa dikatakan berubah menjadi lebih baik. Parameternya: dapat membedakan mana kehendak Allah dan mana yang bukan. Kehendak Allah itu yang bagaimana? Dijelaskan secara sederhana dalam ayat tersebut, yaitu apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Kalau kembali pada kisah pencopet tadi, pasti saudara bisa dengan gampang menunjuk mana yang berubah menurut pembaharuan budi.

Lebih dalam lagi, kalau kita cermati keseluruhan perikop, kita akan menemukan bahwa semuanya itu diletakkan dalam kerangka bagaimana manusia merespon anugerah Tuhan. Respon atau jawaban tersebut diwujudkan dalam bentuk mempersembahkan hidup sebagai ibadah yang sejati. Mempersembahkan hidup sebagai persembahan dan ibadah sejati mengandaikan penghargaan akan hidup itu sendiri. Orang bisa menghargai hidupnya bila ia telah mengubah paradigma atau cara pandangnya, misalnya, hidup bukanlah suatu masalah untuk dipecahkan, melainkan rangkaian anugerah yang sudah sepatutnya disyukuri. Dari hal ini, kita bertemu lagi dengan yang namanya: perubahan.

Sekarang, kita kembali melihat diri kita sendiri. Tanpa terasa, hampir enam tahun kita mandiri. Perubahan, pasti sudah terjadi. Pertanyaannya adalah, sudah sejauh mana kita berubah? Ke arah mana gerangan perubahan itu terjadi? Atau malah belum sejauh itu. Jangan-jangan kita malah anti terhadap perubahan. Kita sudah merasa mapan, walau sebenarnya sedang terombang-ambing di dalam ketidakmapanan. Atau, dengan kencang meneriakkan perubahan, tetapi dia sendiri tidak berubah. Bisa juga, ia sangat mengharapkan situasi dunianya berubah, namun ia tidak melakukan apa-apa. Dalam hal ini kita bisa belajar dari Mahatma Gandhi. Judul renungan di atas sebenarnya merupakan satu ungkapan penting dari Gandhi. ”Be the change you wish to see in the world.” Berubahlah sejalan dengan perubahan yang kamu harapkan, begitu kira-kira terjemahan bebasnya. Artinya, sebelum menuntut orang lain berubah, kita harus berubah terlebih dahulu. Singkatnya: menjadi agen perubahan.

Tidak hanya Gandhi. Satu semboyan reformasi yang cukup terkebal adalah “eclesia reformata quia simper reformanda.” Gereja pembaharu haruslah selalu memperbaharui diri. Sangat menarik, sebab yang terjadi justru sebaliknya. Banyak gereja yang mengaku beraliran reformasi, namun malah enggan berubah, bahkan anti perubahan! “Pathok bangkrong,” begitu istilah orang Jawa. Padahal sejarah dunia sudah membuktikan bahwa yang anti terhadap perubahan akan tergilas zaman. Saudara-saudara pasti tahu kenapa Sekarang tidak ada lagi Pterodactyl, Tyranosaurs-rex, atau Triceratops dan Brontosaurs. Selain disebabkan adanya bencana alam, yang memunahkan, juga karena mereka berevolusi, berubah menyesuaikan diri dengan kondisi alam dan lingkungannya. Dari perubahan itu, muncullah spesies baru.

Kembali pada pembicaraan tentang gereja kita. Dalam tataran yang lebih luas, jajaran Gereja-gereja Kristen Jawa juga tengah mengalami perubahan. Misal, pada tahun 2005 diterbitkannya revisi Pokok-Pokok Ajaran GKJ, Tata Gereja, Tata Laksana, serta Pertelaan. Dalam proses revisi tersebut, muncul pemikiran-pemikiran baru yang menghembuskan angin perubahan, seperti mulai dipercakapkan dan dikaji Perjamuan Kudus untuk anak. Yang sudah tertuang dalam Tata Laksana; pergantian istilah dari “Pengakuan Dosa” diubah menjadi “Penerimaan Pertobatan.” Dulu siapa yang dilayani pertobatannya harus diumumkan sekali dalam warta gereja, sekarang tidak perlu lagi diwartakan. Pendek kata, mau tidak mau perubahan itu memang harus terjadi, seiring dengan kedalaman dan kedewasaan bergereja.

Bagaimana dengan kita? Apakah paradigma dan pola pikir kita akan tetap sama; tidak mau berubah menjadi lebih baik? Atau, kita boleh bersikap kritis, apakah perubahan yang kita lakukan sudah menuju ke arah yang lebih baik? Atau, jangan-jangan, semuanya itu hanya slogan semata, untuk mempermanis penampilan kita, namun justru kita sendiri tidak melakukan apa-apa, bahkan membenci orang yang mau berubah menjadi lebih baik. Satu hal yang pasti: berubahlah oleh pembaharuan budimu! Amin.


Nur Ilahi terpancar abadi, menerawang sukma, menebar asa...
Pdt. Didik Christian Adi Cahyono.


_____________________
[1] Salah satu kata mutiara Mahatma Gandhi. Tulisan ini ditulis untuk Buku Pelayanan Jemaat GKJ Gandaria 2006.

LEBIH DARI YANG BIASA

Yohanes 14:15-27
Kisah Para Rasul 2:41-47

Jika kepada kita ditanyakan, apakah kita sudah menerima karunia Roh Kudus, saya yakin, pasti kita semua akan menjawab sudah! Secara legal-formal, dalam diri setiap orang Kristen Roh Kudus ada. Saya berani mengatakan fakta itu adalah hal bisa! Karena memang benar Roh Kudus, akan diam dalam setiap orang, seperti janji Yesus (Yoh 14:15-17). Lalu apa yang luar biasa? Apa yang lebih dari yang biasa?

Ini jawabnya! Ketika orang mau membuka diri terhadap karya Roh Kudus. Ia mau membiarkan dan merelakan dirinya dipimpin oleh kuasa Roh Kudus. Bukan lagi ”aku” yang berkuasa dalam dirinya, melainkan Roh Kudus yang berkehendak dan memerintah dalam hidupnya. Penyerahan diri pada pimpinan Roh Kudus itu nampak dalam hal-hal yang sungguh amat nyata: adanya perubahan kualitas hidup menjadi lebih baik!

Kita bisa melihat dan mencermati pola kehidupan jemaat mula-mula (Kis 2:41-47). Mereka tumbuh karena pengajaran dari para rasul yang mau membiarkan dirinya dipimpin oleh Roh Kudus sehingga memiliki keberanian. Mereka mau membuka diri terhadap karya Roh Kudus yang ditandai dengan baptisan. Mereka meninggalkan perikehidupan lama mereka dan menyekutukan dirinya menjadi satu komunitas baru. Dan yang menarik, komunitas baru ini memiliki ciri khas yang sangat mengesankan. Ada kesehatian, kebersamaan, senasib sepenanggungan. Saling menganggap orang lain berharga. Ada sukacita. Ada ketulusan. Semuanya dilakukan demi mewujudkan kehidupan bersama yang lebih baik.

Kita adalah komunitas orang yang percaya bahwa Roh Kudus telah turun ke atas kita. Sekarang pertanyaannya adalah apakah kualitas hidup kita sudah berubah menjadi lebih baik, atau masih biasa-biasa saja? Amin.

REKAN SEKERJA ALLAH

Salah satu identitas keluarga Kristen adalah sebagai komunitas cinta kasih. Karena cinta kasih, Allah menanamkan benih cinta pada dua sejoli yang hatinya bertaut. Karena cinta kasih, Allah meneguhkan dan memberkati ikatan cinta itu. Sang buah hati pun lahir karena cinta kasih. Bahkan saat meninggal pun, cinta kasih itu tetap mengiringi kepergian manusia.

Kalau melihat dari angle yang lebih luas, kita juga akan menemukan bahwa segala sesuatu yang tercipta di dunia adalah wujud dari cinta kasih. Allah sumbernya. Tidak tanggung-tanggung, Ia merelakan dirinya mewujud dalam sosok manusia hina hanya untuk membuktikan kekuatan cinta kasih itu. Hubungan Allah dan manusia yang rusak sejak kisah pelanggaran Adam dan Hawa dipulihkan begitu saja. Mungkin betul syair lagu yang dipopulerkan oleh Joy Tobing, “…semua karena cinta…”

Saat ini kita memasuki Masa Penghayatan Hidup Berkeluarga (MPHB). Sungguh, ini hal yang membahagiakan. Betapa tidak, kita diingatkan kembali akan makna dari sebuah ikatan mulia. Ikatan cinta kasih, yang adalah dasar bagi keluarga. Kita berbahagia, karena Allah meletakkan dasar dari semua karyaNya di dalam diri kita dan orang-orang yang mencintai dan kita cintai, - cinta kasih.

Setelah kita disadarkan akan hakikat keluarga, kini kita dipanggil untuk meneruskan pada tahap selanjutnya. Atas dasar cinta kasih yang kita hayati, kita dipanggil untuk ikut serta dalam karya pemulihan martabat manusia. Tidak akan ada pemulihan tanpa cinta kasih. Jadi, kita sudah punya modal untuk menjadi rekan sekerja Allah dalam karya pemulihan martabat manusia. Berbahagialah!

“La vita é bella…”

TERIMALAH ROH KUDUS

Kis. 2:1-21, Mz 145:1-13, 1 Korintus 12:3-13, Yohanes 20:19-23

Babak akhir pelayanan Yesus di dunia telah tiba. Kematiannya yang begitu tragis mengguncang kehidupan para muridNya. Kini Ia kembali memulihkan keberadaan murid-murid yang masih dilanda ketakutan dan kekalutan itu. Tidak hanya memulihkan, Yesus juga memberikan sesuatu yang lain. Dalam Yoh 20:22, diceritakan bahwa Yesus mengembusi mereka dengan Roh Kudus.

Secara naratif, kisah bagaimana para murid menerima Roh Kudus dalam Injil Yohanes berbeda dengan pemaparan kisah yang sama di dalam Kisah Para Rasul. Hal ini tentu terkait dengan karakteristik Injil Yohanes, yang menggambarkan Yesus sebagai sosok “dari atas,” dengan uraian filosofisnya seperti dalam pembukaan Injil ini. Perpisahan yang dilakukan Yesus pun tidak sedramatik Injil lain, yang mengisahkan Yesus naik ke sorga, dengan iringan tatapan takjub para murid. Akhir Injil Yohanes berbeda dengan Injil sinoptis lainnya.

Menarik juga untuk dicermati bagaimana Yesus memberikan tongkat estafet pelayananNya di dunia. Dalam Kisah Para Rasul, Yesus meneguhkan dan menjanjikan “sosok” lain sebagai pengganti diriNya. Hal itu digenapi setelah Ia naik ke sorga. Dalam Yohanes, digambarkan bahwa Yesus sendiri yang secara langsung mengembusi para murid dengan Roh Kudus.

Meski demikian, dua narasi yang berbeda itu bermuara pada satu tema yang sama: pengutusan. Baik Narasi dalam Kisah Para Rasul maupun Yohanes, keduanya memberikan gambaran tentang apa yang harus dilakukan oleh murid-muridNya. Yesus mengutus para murid untuk menjadi saksiNya. Secara spesifik, dalam Injil Yohanes, Yesus memberikan wewenang bagi para murid. (Yoh 20:23) Bila dikaitkan dengan tema MPDK tahun ini, nampak jelas bahwa Yesus menghendaki para murid meneruskan pemulihan relasi yang telah Ia lakukan. Murid-murid menerima Roh Kudus untuk melaksanakan tanggungjawab yang besar; meneruskan karya Yesus.

Kalau saat ini kita kembali merayakan Pentakosta, hari turunnya Roh Kudus, maka kepada kitalah Roh Kudus itu dihembuskan, dan kepada kitalah tanggungjawab untuk meneruskan karya Yesus itu diberikan. Amin.

“From great power, comes great responsibility”

JADILAH KEHENDAKMU[1]


Prawacana


Sebelum berbicara mengenai tema pesan abadi dalam Kitab Suci, ada dua hal yang menurut hemat saya perlu kita cermati. Pertama, adanya unsur subjektifitas. Hal ini bergantung sepenuhnya dari intensitas interaksi antara subjek (baca: pribadi) dengan teks Kitab Suci. Belum lagi kalau kita kemudian melihat dari teks Kitab Suci yang lain (baca: agama lain). Kedua, kesadaran akan adanya subjektifitas inilah yang justru menarik, karena kita akan mengalami perjumpaan dari subjek-subjek yang lain yang masing-masing membawa subjektifitasnya. Perjumpaan inilah yang membawa pada kesadaan dan pemahaman pada kehendak-Nya.

Dari Sebentuk Doa

Matius 6:9-13
6:9 Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu,
6:10 datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.
6:11 Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya
6:12 dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;
6:13 dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. [Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.]


Kalimat-kalimat di atas kita kenal dengan sebutan Doa Bapa Kami. Doa yang diajarkan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya ini sangat berkaitan erat dengan pokok pewartaan Yesus, yaitu Kerajaan Allah. Dengan kata lain, di dalam doa inilah terungkap visi dan misi Yesus di dunia. Seperti yang tetulis dalam ayat 10 dikatakan …”datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu dibumi seperti di sorga.”

Kedatangan Yesus ke dunia adalah dalam rangka mewujudkan visi dan misinya, yaitu mendatangkan Kerajaan Allah (sering juga disebut sebagai Kerajaan Sorga) sehingga kehendak Allah terjadi di bumi seperti di sorga. Kerajaan Allah yang dimaksudkan bukan suatu nasion yang ditandai dengan teritorial tertentu, bukan kompetisi keagamaan yang berebut pengaruh. Kerajaan Allah adalah proses. Dipahami sebagai situasi yang sedang terjadi saat ini. The Reign of God is something that happens. Kerajaan Allah bukanlah suatu makna yang simple dan statis, melainkan suatu konsep yang dinamis. Kerajaan Allah adalah ketika kasih berada dan menjiwai hati setiap orang, ketika kemenangan keadilan mengalahkan ketidakadilan dari suatu komunitas kemanusiaan. Kerajaan Allah adalah ketika kuasa Allah memberdayakan kita untuk berani hidup di tengah situasi dan keadaan yang penuh dengan kesengsaraan dan penderitaan.[2] Kerajaan Allah adalah ketika yang lapar dikenyangkan, ketika yang sedih digembirakan sehingga terhibur, ketika yang putus asa beroleh harapan. Ketika semuanya terwujud, maka saat itulah Kerajaan Allah menjadi nyata, kehendak Allah terjadi di bumi seperti di sorga. Dengan bahasa yang lebih sederhana, Kerajaan Allah adalah ketika damai sejahtera dirasakan secara konkret.

Di dalam doa yang terlihat sederhana itu, Yesus hendak menunjukkan bahwa, tidak ada yang lebih utama selain mewujudkan kehendak Tuhan di dalam hidup-Nya, di dalam seluruh pelayanan yang Dia lakukan. Dalam kerangka ini kita bisa memahami bahwa semua yang dilakukan Yesus, baik mujizat, pengajaran, bahkan sampai kematian-Nya adalah upaya untuk merealisasikan visi dan misi-Nya tersebut. Contoh sederhana dari hal di atas seperti terdapat dalam Matius 25:40 ... “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Dalam ayat ini terkandung pemahaman bahwa mengenai bagaimana kita memandang relasi dengan orang lain, tentang bagaimana kita bersikap dalam menghadapi ketidakadilan, kemiskinan yang menimpa saudara kita. Dan yang lebih dalam lagi adalah bagaimana mewujudkan kehendak Allah di dalam hidup kita.

Contoh yang lain, misalnya dalam Matius 13:31-33
13:31 Yesus membentangkan suatu perumpamaan lain lagi kepada mereka, kata-Nya: "Hal Kerajaan Sorga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya.
13:32 Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar dari pada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya."
13:33 Dan Ia menceriterakan perumpamaan ini juga kepada mereka: "Hal Kerajaan Sorga itu seumpama ragi yang diambil seorang perempuan dan diadukkan ke dalam tepung terigu tiga sukat sampai khamir seluruhnya."

Yesus memakai biji sesawi dan ragi untuk menggambarkan konsep tentang Kerajaan Sorga, ini menunjukkan bahwa sebenarnya, untuk mewujudkan kehendak Allah di dalam hidup kita, , kita bisa memulai dengan hal-hal yang kecil dan sederhana, Salah satu contoh, saya mengutip sajak yang ditulis oleh Kim Chi Ha, penyair Kristen dari Korea:[3]

Sorga adalah nasi
Karena kita tidak dapat pergi ke sorga sendirian
Kita harus bersama-sama membagi beras
Karena semua memperoleh terang bintang-bintang di langit
Kita harus membagi dan makan nasi bersama
Sorga adalah nasi
Kalau kita makan dan menelan nasi
Sorga tinggal di dalam tubuh kita
Nasi adalah sorga
Ya, nasi adalah soal pokok
Kita harus makan bersama


Contoh lain. Huruf Cina untuk kata damai adalah “wa.” Huruf “wa” ini terdiri dari dua kata “padi” dan “mulut.” Jadi damai berarti menyalurkan padi atau makanan kepada sesama atau berarti juga keadilan. Dalam arti sederhana, damai sejahtera adalah ketika mulut terisi nasi.

Menjadi Motivasi Hidup

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa bait doa yang diajarkan Yesus tidak hanya sebuah bait doa biasa, melainkan di situlah terungkap apa yang Tuhan kehendaki bagi umat-Nya; mewujudkan kehendak Tuhan, damai sejahtera di bumi seperti di sorga. Tugas kita sekarang adalah terus menggemakan dan memperjuangkan agar Kerajaan Allah datang dan kehendak-Nya terwujud, sehingga damai sejahtera sungguh-sungguh dirasakan secara konkret dan real bagi semua orang.

Pray for the peace of humanity
dcac





_____________________
[1] Disampaikan dalam Diskusi Antar Iman “Pesan Abadi Tuhan dalam Teks-teks Suci Agama” diselenggarakan oleh Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) 4 April 2009.
[2] C. S. Song, Jesus and the Rign of God. Minneapolis: Fortress Press, 1993.
[3] Masao Takenaka, Nasi dan Allah. Jakarta : Gunung Mulia. 1996.

01 Maret 2009

SANG PAMOMONG

Imamat 25:1-17, Mazmur 34, 1 Petrus 3:13-22, Yohanes 14:15-20


Dalam dunia pewayangan, kita mengenal istilah “Sang Pamomong” yang mengacu pada sosok dewa yang ditugaskan secara khusus untuk menuntun, membantu – bahkan jadi abdi – bagi sejumlah ksatria, dengan harapan sang ksatria lurus jalannya, luhur budi pekertinya. Ada banyak tokoh “Pamomong” ini, salah satunya adalah Semar. Semar sebenarnya adalah Bathara Ismaya, kakak dari Bathara Guru, pemimpin tertinggi para dewa. Tugas Semar adalah menyertai para ksatria Pandhawa. Ia selalu berada, beserta dan mengabdi pada Pandhawa.

Dalam dunia kekristenan, kita juga mengenal istilah “Sang Pamomong.” Istilah itu dikenakan pada sosok yang dijanjikan untuk menggantikan Yesus di dunia. Bedanya, keberadaan Semar bagi Pandhawa hanyalah sekedar berada di sisi Pandhawa secara fisik. Kehadirannya hanya sekedar sebagai pendamping dan penyerta. "Sang Pamomong" dalam iman Kristen adalah Roh Kebenaran. Dialah Sang Penolong yang tidak hanya berada, mendampingi dan beserta, tetapi lebih lagi, Ia akan tinggal di dalam kita. Inilah yang dijanjikan Yesus bagi para muridNya. “…sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu,” begitu kata Yesus. Roh itu melebihi roh-roh yang lain. Keberadaannya melebihi pamomong-pamomong yang lain. Semar hanya bisa di sisi Pandhawa, tetapi Sang Penolong, Roh Kebenaran berada di dalam diri kita. Roh Kebenaran itu tidak hanya above us atau among us, tetapi sekaligus juga within us.

Yang menjadi pertanyaan dan pergumulan kita sekarang adalah: kalau di dalam dunia pewayangan, Pandhawa selalu nurut dan manut dengan Semar, pamomong dan penolong mereka, bagaimana dengan kita? Apakah kita juga manut dan nurut dengan pamomong dan penolong kita, Sang Penolong Sejati yang tinggal di dalam kita?

Dhandhanggula



Dielinga pangandika suci
Dikekuthah ing jroning wardaya
Christus Yesus panuntune
Tinulis Mateus pitu
Angka ayat kang sami ugi
Anyenyuwun pinaringan
Digoleki ketemu
Cahyane dadya pepadhang
Ya kang nothok mesti bakal winengani
Nalesi kang pracaya

KETIKA TUHAN MEMINTA…

Kejadian 22:1-19


Adalah biasa kalau kita meminta sesuatu atau bahkan banyak hal kepada TUHAN. Di dalam doa-doa yang kita ucapkan, serasa tidak lengkap bila tanpa menyebutkan permintaan. Walau dalam praktek permohonan itu diletakkan dalam bagian akhir dari doa kita, tetapi toh tetap ada. Tidak ada yang salah terhadap kelaziman ini. Ini hal biasa. Sekarang, pernahkah saudara memikirkan bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya? Bukan kita yang meminta kepada TUHAN, melainkan TUHAN yang meminta kepada kita untuk melakukan sesuatu? Ini baru luar biasa…

Perikop kita kita saat ini menceritakan hal yang luar biasa itu. Kisah sedih keluarga Abraham yang diminta TUHAN untuk mempersembahkan anak tunggalnya, Ishak, menjadi korban bakaran. Memang perikop kita tidak menceritakan bagaimana pergumulan yang harus dirasakan oleh Abraham, dan juga istrinya. Namun, coba kita sejenak berempati dan masuk ke dalam dunia teks ini. Selama 100 tahun Abraham menantikan penggenapan janji TUHAN bahwa ia akan diberi keturunan sebanyak bintang di langit dan pasir di pantai. Ia menunggu hingga 1 abad untuk dapat mendengar tangisan anaknya. Memang sih, ketika usia 86 tahun ia sudah dikaruniai anak, Ismael, tetapi itu bukan dari rahim istrinya, Sara, melainkan dari udak perempuan istrinya, Hagar. Jadi bayangkan saudara-saudara, setelah menunggu sekian lama untuk menimang anak, ehh.. baru beberapa lama TUHAN memintanya untuk mengorbankan anaknya itu. Ini berarti Abraham harus merelakan kematian anak yang dikasihinya. Dan yang lebih menyayat hati, anak itu harus mati di tangannya sendiri.

Namun, memang tidak salah kalau Abraham disebut sebagai Bapa Orang Beriman. Kadar iman yang ditunjukkan Abraham memang luar biasa! Dari sejak semula ia dipanggil dari tanah Ur Kasdim menuju ke tanah terjanji yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Tanpa Tanya, ia berangkat memenuhi panggilan TUHAN. Sangat berbeda dengan kita. Kalau diberi tugas atau mandat, sering lebih banyak protes. Bukan bagianku lah, ini cocok untuk si itu lah, apa untung ruginya buat aku lah, dll. Juga ketika ia sekali lagi ketiban sampur untuk memenuhi panggilan TUHAN agar mengorbankan Ishak. Tanpa secuil pun tanya ia berangkat, walau kita bisa membayangkan bagaimana galaunya perasaan Abraham. Ketika sampai di salah satu gunung di tanah Moria, terjadi lagi sebuah fragmen yang sangat menyayat hati. Perhatikan ayat 7. Ishak menanyakan di mana anak domba untuk korban bakaran. Dengan penuh keyakinan Abraham menjawab TUHAN yang akan menyediakan. Ishak belum tahu bahwa sebenarnya dirinyalah yang akan berperan sebagai korban bakaran itu. Bahkan ia tidak memberontak ketika kemudian ayahnya mengikatnya dan membaringkan di atas tumpukan kayu serta kemudian bersiap untuk menyembelihnya.

Untunglah kemudian Malaikat TUHAN datang dan memerintahkan Abraham untuk tidak membunuh anaknya. Melaikat itu juga mengungkapkan pengakuan atas iman yang dimiliki Abraham, bahwa ia, didasari atas sikap takut akan TUHAN, tidak segan-segan menyerahkan anak tunggalnya kepada TUHAN. (ayat 12) Abraham lulus dari ujian. Perintah TUHAN untuk mengorbankan Ishak adalah suatu pendadaran bagi Abraham, apakah ia merelakan apa pun juga, termasuk di dalamnya anak lagi-laki yang sekian lama dinantikan kehadirannya, untuk diserahkan kepada TUHAN. Dari sini kita bisa belajar bahwa takut akan TUHAN adalah segala-galanya. Bukan lagi suatu kegelisahan batin yang luar biasa, melainkan suatu penghormatan dan kepatuhan kepada TUHAN. Dalam ungkapan bahasa Jawa kita biasa mendengar ajrih asih mring Gusti, pakering. Dalam peristiwa pengorbanan ini kita juga melihat bahwa kerelaan Abraham untuk mematuhi dan memenuhi permintaan TUHAN bukan hanya terkait dengan hati seorang ayah yang membawakan korban tertinggi, yaitu kasihnya kepada anak, melainkan juga sebagai seorang percaya yang menyerahkan dan mengorbankan segala apa yang diterima dari TUHAN untuk dipersembahkan kepada TUHAN pula. Dalam hal inilah kelulusan Abraham ditentukan. TUHAN yakin akan kualitas iman Abraham. Karena itulah kemudian TUHAN menyediakan seekor domba jantan yang kemudian dikorbankan Abraham sebagai pengganti anaknya. Terjadi seperti apa yang diyakini Abraham, bahwa TUHAN akan menyediakan anak domba sebagai korban bakaran. (ayat 8) Tidak hanya itu, TUHAN juga menganugerahkan berkat yang melimpah bagi Abraham. (ayat17-18)

Kita sudah sering meminta melakukan sesuatu bagi kita. Bukan sering lagi, melainkan kita selalu meminta. Sekarang coba renungkan, kira-kira apakah kita juga memenuhi apa permintaan TUHAN bagi hidup kita? Atau lebih parah lagi kita malah tidak pernah tahu apa permintaan TUHAN dalam hidup kita. Kita terlalu asyik dengan perhitungan-perhitungan nalar yang kita sendiri. Kita terlalu banyak mempertimbangkan ketika hendak melakukan sesuatu yang sebenarnya TUHAN kehendaki untuk kita lakukan. Kita meyakini bahwa waktu yang ada adalah karunia TUHAN, namun ketika suatu saat kita diminta untuk mempersembahkan waktu itu bagi Dia, muncul seribu alasan dan dalih. Bahkan saya pernah mendengar ada seorang yang tidak bisa ikut kegiatan di gereja karena dilarang oleh orang tuanya. Jauh rumahnya, banyak tugas sekolah, dll. menjadi dalihnya. Padahal hanya waktu yang diminta, belum yang lain. Lagi saudara yang terkasih. Kita juga menghayati bahwa keluarga kita adalah karunia TUHAN. Kita diberikan seorang yang mau menerima dan mengerti kita, pasangan kita. TUHAN tidak meminta banyak, hanya agar kita saling asah, asih dan asuh. Bukan untuk orang lain permintaan itu, melainkan untuk kita sendiri, namun, apa ya sudah dengan sungguh-sungguh kita lakukan. Coba ingat panggilan TUHAN bagi orang yang menikah.
1. Mewujudkan kesatuan keluarga.
2. Menjaga kelestarian keluarga.
3. Menjaga kekudusan keluarga.
4. Silih asah, asih dan asuh berdasarkan firman TUHAN.
5. Senantiasa bersyukur.
Waduh, sudah lupa, tuh. Pendek kata, ternyata ada banyak permintaan TUHAN yang justru pada akhirnya tertuju untuk kita juga. Tapi kok ya cik uangel men se...!!

Berikutnya, iman kita sering kali iman yang penuh dengan syarat. Kita baru percaya ketika kita melihat. Abraham menunjukkan contoh yang luar biasa ketika Ishak menanyakan dimana domba korbannya. Abraham menjawab nanti disediakan TUHAN. Memang benar, TUHAN menyediakan, tetapi itu ada setelah Abraham lulus dari ujian, yang dengan ikhlas mengorbankan anak tunggalnya. Sering kita tidak mau berbuat sesuatu karena falsafah mengko gek.... TUHAN memberi berkat atas dasar keyakinan yang ada. Abraham yakin TUHAN akan menyediakan, dan ia mendapatkan jawaban. Santo Agustinus pernah mengatakan : Faith is to believe what we do not see; and the reward of this faith is to see what we believe. Janji TUHAN akan damai sejahtera itu pasti, namun karena kita tidak mempercayai, ya akhirnya yang terlihat adalah dukacita, nestapa, nelangsa, dan kawan-kawannya. Ada berbagai pergumulan, bahkan mungkin kesedihan yang menimpa kita, namun janji TUHAN pun tidak bisa diingkari, problemnya adalah apa kita percaya, seperti percaya yang ditunjukkan Abraham? Ternyata, walaupun damai sejahtera itu anugerah, namun harus ada perjuangan untuk mendapatkannya. Dari kisah Abraham nempak jelas juga, bahwa perjuangan itu bukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk kita juga. Janji TUHAN sudah terucap, tinggal bagaimana kita menanggapi dan menjawab.

Menjadi Berkat Melalui Hati, Pikiran dan Perbuatan


Matius 15:10-20

Peribahasa mengatakan: “Dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu.” Saya berani mengungkapkan bahwa bagian dari manusia yang paling misterius adalah hatinya. Kalau sekedar menilai paras dan tampangnya, pasti kita semua tidak percaya bahwa Ryan adalah pelaku pembunuhan berantai yang menewaskan sebelas orang, termasuk seorang anak kecil. Kalau dilihat hanya pada saat-saat akan menjalani eksekusi, tidak ada orang yang percaya bahwa Sumiarsih adalah salah satu dalam pembunuhan sadis keluarga Adi Prayitno akhir dekade 80-an yang lalu. Kalau mencermati lembutnya tutur kata serta elegannya dandanan Artalyta, pasti kita tidak akan mengira kalau dibalik itu semua, dia melakukan tindak pidana korupsi. Atau yang paling terkenal, The Smiling General, Jenderal Suharto. Di balik senyumannya, diyakini dialah sosok yang seharusnya diadili sebagai penjahat HAM mengorbankan banyak orang semasa ia berkuasa.

Demikianlah, orang bisa saja berbuat baik, bermuka penuh senyum, lembah manah¸ andhap asor, dan lain-lain. Akan tetapi yang menjadi pertanyaannya adalah apakah sikap atau tindakan itu semua berasal dari ketulusan hati yang paling dalam? Bisa saja seseorang bersikap baik pada saya, tetapi sesungguhnya ia dendam pada saya. Bisa saja seseorang berlaku hormat pada kita, namun di belakang ia menusuk kita. Paras, perkatan, tindakan bisa dimanipulasi sedemikian rupa agar kebobrokan hati tertutupi. Inilah yang dikritik oleh Yesus dalam bacaan kita. Bukan yang masuk ke dalam mulut kita yang menajiskan, melainkan yang keluar dari mulut. Apa yang keluar dari mulut berasal dari hati. Hati kita bisa menjadi sumber berkat, sekaligus sumber laknat. Jadi, kalau selama ini anda selalu berpikiran negatif, bahkan buruk pada orang lain, bisa jadi justru andalah yang sebenarnya memiliki hati dan pikiran yang buruk. Mungkin hati buruk kita bisa kita tutupi dengan manisnya senyuman dan santunnya sikap, akan tetapi kenyataan pasti akan terungkap.

Hari ini kita diajak Yesus untuk mengolah hati kita. Mari kita jadikan tempat yang paling misterius itu menjadi sumber berkat, bagaikan sumber air jernih yang mengalir dan menyejukkan. Atau kita masih lebih senang memakai hati kita sebagai gudang sampah dan kotoran, yang bermuara pada buruknya pola pikir dan bobroknya tindakan kita? Hati kita mau kita jadikan sebagai sumber berkat atau sumber laknat?

*Think +, get +*

28 Februari 2009

Melibatkan Diri dalam Pewarisan Tradisi

Filipi 4:1-9

Surat Paulus Kepada Jemaat di Filipi ini ditulis ketika Paulus berada di penjara. Hatinya pada saat itu cemas karena ada pekerja-pekerja Kristen yang menentangnya. Juga karena di dalam jemaat di Filipi itu ada orang-orang yang mengajarkan ajaran-ajaran yang menyesatkan. Meskipun demikian surat Paulus ini bernada gembira dan penuh harapan. Apa sebabnya demikian? Tidak lain hanyalah karena Paulus percaya sekali kepada Kristus.

Ciri khas surat ini ialah tekanannya pada kegembiraan, keteguhan hati, kesatuan, dan ketabahan orang Kristen dalam mempertahankan percayanya kepada Kristus dan dalam menjalani hidup sebagai orang Kristen. Hal ini nampak sekali dalam teks di atas. Bahkan dalam ayat 9 dikatakan: “Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu.” Dengan kata lain, Paulus mengatakan bahwa jemaat di Filipi harus hidup sesuai dengan ajaran yang telah diajarkan Paulus. Kita tahu bahwa apa yang diajarkan Paulus adalah berdasarkan dari pengalaman dan penghayatan imnannya pada Yesus, Putra Allah.

Dari uraian di atas, kita bisa menemukan satu pola yang menarik; Yesus mengajar para murid-Nya, para murid (termasuk Paulus) mengajarkan apa yang diajarkan Yesus pada jemaat yang dibangunnya. Proses itu terus terjadi, bahkan hingga pada masa kita. Ada proses pewarisan tradisi iman yag berjalan. Iman kepada Kristus diajarkan, diwariskan dan dihidupi.

Kini dalam Masa Penghayatan Hidup Berkeluarga, kita diingatkan kembali pada proses di atas. Apakah kita, baik sebagai individu, ataupun sebagai keluarga telah terlibat dalam rangkaian proses pewarisan tradisi itu?

Mungkin juga timbul pertanyaan; tradisi apa yang kita wariskan? Jawabnya singkat: tradisi keyakinan keselamatan yang telah kita terima dari Allah. Tradisi keyakinan bahwa relasi kita dengan Allah telah dipulihkan-Nya pengorbanan Yesus.

Mari melibatkan diri dalam proses yang luar biasa ini.

Ubi caritas et amor, Deus ibi est.

Menembus Batas

Yunus 3:10-4:11, Mazmur 145:1-8, Filipi 1:21-30, Matius 20:1-16

Saya bisa membayangkan betapa jengkel dan sakit hati Yunus, ketika satu kenyataan yang belum ia pahami terbentang dihadapannya. Allah mengampuni orang Ninewe! Ninewe, yang adalah ibukota kerajaan musuh bebuyutan Israel, Asyur, yang berarti juga musuh bagi Yunus mendapat pengampunan dari Allah. Sungguh fakta ini tidak terpahami oleh Yunus. Sebenarnya Yunus tahu betapa pemurahnya Allah. Itu sebabnya ia lebih memilih melarikan diri ke Tarsis, ketimbang menjalankan perintah Allah ke Ninewe (ayat 2). Mungkin ia tidak ingin Allah mengampuni orang-orang Ninewe, yang adalah musuh negaranya. Namun Allah berkehendak lain. Pengampunannya melebihi batasan-batasan yang diciptakan oleh Yunus.

Kisah orang-orang upahan di kebun anggur jug amenunjukkan betapa tak terselami karya Allah. Menurut perhitungan manusia, pastilah pekerja yang terakhir masuk kebun anggur akan mendapatkan lebih sedikit daripada pekerja yang dari pagi menggarap kebun anggur itu. Namun perhitungan itu dijungkirbalikkan dengan pemahaman yang sulit kita mengerti bahwa orang terakhir akan menjadi yang pertama dan orang pertama akan menjadi yang terakhir(ayat 16).

Dalam dua hal di atas inilah akhirnya menyadarkan kita bahwa Allah dan karya-Nya tidak bisa dimasukkan dan dibatasi dalam konsep-konsep nalar dan akal budi manusia. Konsep-konsep yang dicipta manusia membuat Allah dan karya-Nya terkungkung dan terkotak-kotak. Tanpa sadar kita pun telah menempatkan Allah dalam kotak-kotak pikiran dan konsep kita. Atau jangan-jangan kita sudah sampai pada tahap beriman kepada Allah yang kita ciptakan sesuai dengan konsep kita?

Mari saudara-saudara, mulai saat ini kita buka hati, buka pikiran, buka rasa kita, untuk merasakan Allah dan karya-Nya yang tidak terbatas, yang mampu menembus batasan-batasan yang dibuat manusia. “Besarlah Tuhan dan sangat terpuji, dan kebesaran-Nya tidak terduga.” (Maz 145:3)

31 Januari 2009

Berbagi "Rumah" dengan Yang Lain


Mengerikan. Satu kata yang saya pakai untuk menggambarkan relasi antar agama, khususnya Islam-Kristen sepanjang sejarah peradaban manusia. Terkesan terlalu bombastis memang. Namun, bila kita sejenak menengok perjalanan sejarah persinggungan antara kedua agama Abraham ini, kita akan menemukan tetesan-tetesan darah, gumpalan amarah, bahkan dendam berkepanjangan. Wajarlah jika kemudian terasa ada tembok yang membatasi keduanya. Keengganan muncul untuk berbagi sapa, bahkan kalaupun terjadi perjumpaan, tatap curiga selalu terasa.

Ironis, karena betapapun dalamnya luka masa lalu itu, kita toh hidup dalam rumah yang sama. Paradoks pun terjadi. Di satu sisi, kita harus bersama-sama memelihara dan merawat rumah itu, namun di sisi lain luka lama itu membuat ketidaknyamanan suasana sehingga enggan bertegur sapa. Padahal tugas kita tidak hanya untuk merawat dan menjaga rumah, melainkan harus membuat salam dirasakan dan terpancar keluar. Satu lagi ironi muncul. Ada panggilan bersama yang seharusnya bisa dijadikan dasar untuk berbagi, namun karena begitu dalam luka yang tertoreh, bukan uluran tangan dan sapaan menyejukkan yang terbagi, melainkan ketakutan dan kemarahan yang akhirnya membuat tembok pembatas itu semakin tebal dan tinggi. Rumah yang seharusnya menjadi tempat bernaung yang tenteram kini terkotak-kotak oleh tembok-tembok prasangka, dendam dan angkara. Terkadang muncul usikan yang membuat ketidaknyamanan, bahkan satu dengan yang lain berniat untuk mengusir keluar dari rumah. Semua itu bermuara pada upaya hegemonisasi satu dengan yang lain.

Ada upaya untuk membongkar tembok primordialisme ini. Mulai dengan upaya untuk membangun pemahaman, sampai komitmen untuk duduk bersama dalam dialog yang sehat. Ini mensyaratkan adanya keinginan untuk mencoba mengerti arti kehadiran masing-masing dalam rumah itu. Tetapi, ini pun belum mencukupi, selama masih ada hasrat untuk menaklukkan satu dengan yang lain. Perjumpaan dan dialog yang terjadi pun dimanipulasi untuk mencari kelemahan satu dengan yang lain. Selamanya akan terus begitu jika keakuan masih menjadi tolok ukur.

Sejarah mencatat rangkaian peristiwa tragis ketika ”aku” menjadi sebuah totalitas yang selalu meniadakan ruang, bahkan menaklukkan “yang lain.” Relasi yang terbangun antara “aku” dengan “yang lain” adalah relasi I – It (aku – benda). Akibatnya, muncul subordinasi, bahkan penaklukkan satu dengan yang lain. Karenanya Kita ingat bagaimana totalitas “aku” yang termanifestasikan dalam faham fasisme Nazi yang mencoba menaklukkan kaum Yahudi sebagai “yang lain.” Kita patut berterima kasih kepada pemikiran Emmanuel Levinas yang mencoba mengkritisi totalitas “aku” dan mengangkat “yang lain.” “Yang lain” adalah suatu entitas di luar “aku.” Jika selama ini relasi antara “aku” dengan “yang lain” adalah penaklukan “yang lain” oleh “aku,” maka dibutuhkan adanya pengakuan akan keberadaan “yang lain” agar relasi yang terbangun menjadi seimbang. “Yang lain” adalah suatu entitas di luar “aku” yang bisa hidup bersama, bukan sebagai sosok untuk ditaklukkan dalam totalitas “aku.” Pengakuan dan penghargaan akan keberadaan “yang lain” akan mengubah relasi yang semula I – It, menjadi I – Thou (aku – engkau), seperti pergumulan Martin Buber.

Kita kembali ke dalam rumah yang telah terkotak-kotak oleh pemahaman sempit penghuninya yang secara historis masih bersaudara. Kesadaran untuk mengakui dan menghargai keberadaan entitas di luar dirinya menjadi unsur penting sebelum memulai untuk berdialog. Dialog bukan sebagai wahana apologetika yang bertujuan untuk saling menaklukkan, saling menganggap dirinya sebagai totalitas “aku” dan meniadakan “yang lain,” melainkan sebagai kesempatan untuk menyapa Thou – bukan It – satu dengan yang lain. Dengan cara ini, kita bisa mulai meruntuhkan dinding keangkuhan yang membuat tidak nyaman rumah yang kita tinggali. Mungkin masih ada sekat yang membedakan dan memisahkan, karena masing-masing memiliki ruang yang berbeda dan memang memiliki perbedaan dan keunikan. Masing-masing adalah “yang lain” bagi masing-masing, entitas di luar “aku” yang berdiri sendiri dan bukan sebagai bagian dari “aku” yang harus ditaklukkan.

Dari pemahaman di atas, kita bisa mulai menyadari bahwa ternyata di dalam rumah kita ada orang lain yang hidup bersama dengan kita. Ada perbedaan, Namun perbedaan itu tidak berarti meniadakan perjumpaan, melainkan justru karena ada perbedaan itulah dialog bisa dilakukan. Hal ini akan membawa kita pada kesadaran dan penghayatan bahwa kita tinggal di rumah yang sama, di bumi yang sama, di bawah langit yang sama. Karenanya, kita harus berbagi. Ya... Berbagi rumah dengan yang lain demi memenuhi panggilan kita bersama, mewujudkan rahmatan lil alamin, damai sejahtera bagi semua ciptaan.

30 Januari 2009

Menjadi Seperti yang Kau Minta




"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”
(Matius 7:12)

Satu pertanyaan klasik yang selalu saya tanyakan ketika mendampingi Majelis dalam proses pendadaran manten di GKJ Gandaria adalah : “Mengapa anda ingin menikah?” Jawabannya sangat beragam; ada yang ingin mendapat kepastian status, ada yang ingin memiliki keturunan, ada yang ingin mendapatkan teman hidup, ada yang ingin hidup bersama dengan orang yang dicintainya, ada yang menjawab karena memang sudah saatnya untuk menikah, bahkan ada yang ingin menikah agar hidupnya bisa lebih teratur dan lebih baik. Pertanyaan di atas tidak hanya saya ajukan pada salah satu calon manten, melainkan kedua-duanya, laki-laki dan perempuan. Sederhana memang pertanyaan itu, tetapi dari deretan jawaban di atas, nampak jelas adanya suatu harapan, baik harapan dari calon manten pria maupun calon manten perempuan. Namun, selama lebih kurang hampir lima tahun saya melontarkan pertanyaan itu, seingat saya hanya ada satu pasang calon manten yang mengungkapkan jawaban yang berbeda. Calon manten pria menjawab: “Saya ingin menjadi suami yang baik,” sedangkan calon manten perempuan mengungkapkan: “Saya ingin menjadi istri yang baik.”

Tidak ada yang salah dari semua jawaban yang diungkapkan, tetapi saya ajak sekarang untuk mencermati deretan jawaban itu. Kelompok jawaban yang pertama terlihat bahwa harapannya adalah mendapatkan sesuatu dari orang lain, sedangkan jawaban yang terakhir lebih pada keinginan untuk melakukan sesuatu bagi orang lain. Sudah bisa membedakan...? Kalau belum, saya perdalam lagi. Kelompok yang pertama mengungkapkan bahwa dengan menikah, ia akan “mendapatkan” sesuatu dari pasangannya, sedang kelompok kedua kita menemukan ungkapan bahwa dengan menikah ia akan “memberikan” sesuatu bagi pasangannya. Perbedaan ini menarik bahkan menyolok sekali, karena imbas dari harapan-harapan itu bisa sangat lain. Ketika kita mengharapkan sesuatu dari orang lain, mau tidak mau kita akan mengatakan dan meminta. Misalnya, ketika saya ingin memiliki istri yang baik, maka saya akan meminta calon istri saya untuk berlaku dan berbuat seperti harapan saya. Ini berbeda ketika saya ingin menjadi suami yang baik, maka saya akan berjuang dan berbuat apa pun demi membahagiakan istri saya.

Siapa diantara kita yang tidak ingin diperhatikan, disayang dan dicintai oleh pasangan kita, anak-anak kita, orang tua kita, keluarga kita? Semuanya pasti menginginkan hal itu. Persoalannya sekarang adalah bagaimana cara kita mendapatkan apa yang kita harapkan. Matius 7:12 mengungkapkan secara gamblang! Kita tentu pernah mendengar The Golden Rule-nya Confussius, yang menyatakan bahwa “jangan melakukan kepada orang lain apa yang kita tidak suka orang lain lakukan pada kita.” Hukum ini mengatur agar tidak terjadi kekacauan dan kekerasan dalam masyarakat. Namun, hukum ini bersifat preventif. Oleh Yesus, hukum ini dibaharui dengan menambahkan unsur proaktif. Tidak menunggu melainkan memulai terlebih dahulu. Ketika kita ingin disayang dan dicintai, mulailah dari diri kita terlebih dahulu untuk menyayangi dan mencintai. Ketika kita ingin orang lain berbuat baik kepada kita, mulailah untuk terlebih dahulu berbuat baik kepadanya. Bayangkan, betapa indah dan membahagiakan ketika di dalam keluarga masing-masing anggotanya saling berlomba untuk menjadi yang pertama dalam hal melayani, memperhatikan, menyayangi, dll. Dengan tanpa disengaja, semua kan mendapatkan apa yang diharapkan. Jadi, mulailah hari ini dengan melakukan apa yang kita senang orang lakukan pada kita, menjadi yang terbaik bagi orang lain. Amin.

Aku tahu ku takkan bisa menjadi s’perti yang engkau minta,
namun selama nafas berhembus aku kan mencoba,
menjadi s’perti yang kau minta…
(S’perti Yang Kau Minta - Chrisye)


Kirana asa dalam titian kembara,
dchristac

Mempertanggungjawabkan Berkat

Matius 25:14-30


Kalau hanya disebut “talenta” saja, mungkin kita tidak begitu merasakan besarnya. Coba Sekarang kita coba talenta itu dikonversi ke dalam rupiah. Talenta Ukuran timbangan sebesar 3000 syikal = kurang lebih 34 kilogram. Dalam Perjanjian Baru ukuran jumlah uang yang sangat besar nilainya, yaitu 6000 dinar. Dinar adalah Mata uang Romawi. Satu dinar ialah upah pekerja harian dalam satu hari. Misalkan upah buruh harian di DKI sebesar Rp. 25.000,- maka satu talenta = Rp. 150.000.000,- Jumlah yang tidak sedikit bukan?

Sayangnya, uang sejumlah itu disia-siakan, karena hanya disembunyikan di dalam tanah oleh si hamba. Ia tidak menjalankan uang itu karena merasa iri terhadap hamba-hamba lain yang diberi lebih dari dirinya. Padahal, sang tuan sama sekali tidak memperhitungkan berapa uang yang menjadi hasil dari usaha hamba-hamba itu. Buktinya, baik kepada hamba yang diberi lima talenta dengan hamba yang diberi dua talenta, sang tuan memberikan pujian yang sama (lihat ayat 21 dan 23). Ini menunjukkan bahwa sang tuan tidak memprioritaskan hasil, melainkan bagaimana proses si hamba mengusahakan talenta yang diberikan kepadanya. Bukan masalah besarnya telenta, tetapi bagaimana mengusahakan dan mempertanggungjawabkan talenta pemberian itu.

Kalau kita sampai saat ini masih merasa iri, mengapa orang lain terlihat lebih berhasil daripada kita, maka status kita sama seperti hamba yang dimodali satu talenta, yang menyia-nyiakan modal yang sebenarnya cukup besar. Sekarang cobalah merenung sejenak; apa yang ada di dalam hidup kita yang bukan merupakan pemberian dari Tuhan? Tidak ada satu pun, bukan? Nha… daripada meributkan kenapa bagian orang lain lebih baik ketimbang bagian saya, atau hidup orang lain terlihat lebih indah daripada hidup kita, lebih baik mulai untuk mengolah, mengusahakan dan mempertanggungjawabkan segala pemberian Tuhan itu kepadaNya. Itu berarti mengolah, mengusahakan dan menghidupi hidup kita serta mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan.

28 Januari 2009

A Prayer for Peace

A FRANCISCAN BENEDICTION

May God bless you with Discomfort
at Easy Answers, Half-Truths, and Superficial Relationships
so that you may live Deep Within Your Heart.
May God bless you with Anger
at Injustice, Oppression, and Exploitation of People
so that you may work for Justice, Freedom, and Peace.
May God bless you with Tears . . .
to shed for those who suffer from Pain, Rejection, Starvation, and War,
so that you may reach out Your Hand to Comfort them
and to turn their Pain into Joy.
And may God bless you with enough foolishness . . .
to Believe that You can Make a Difference in this World,
so that You can Do
what others claim cannot be Done.
Amen


A FRANCISCAN BENEDICTION
(Berkat-Penutup model Fransiskan)


Kiranya Allah mengaruniai kamu: Ketidaknyamanan
atas jawab serampangan, setengah-benar, dan relasi basa-basi
sehingga kamu boleh hidup dengan hati nurani kamu.
Kiranya Allah mengaruniai kamu: Kemarahan
atas Ketidakadilan, Penindasan, dan Eksploatasi atas Manusia
sehingga kamu berjuang untuk Keadilan, Kemerdekaan, dan Perdamaian.
Kiranya Allah mengaruniai kamu: Air Mata . . .
untuk memberi perlidungan kepada yang menderita karena
penyakit, penolakan, kelaparan, dan peperangan,
sehingga kamu dapat mengulurkan tangan kamu untuk meringankan mereka
dan mengubah Derita mereka menjadi Sukacita.
Dan kiranya Allah mengaruniai kamu dengan ‘kebodohan’ secukupnya . . .
untuk memiliki keyakan bahwa kamu dapat membuat perubahan di Dunia ini,
sehingga kamu dapat melakukan
apa yang diklaim orang lain: tak mungkin dilakukan.
Amin





Delivered by Dr. Robert A. Evans, at the closing of his lecture in STT Jakarta, September 8, 2004, 19.00-21.00. Moderator and translator: Dr. Kadarmanto Hardjowasito. The lecture entitled “Peace Building in the World of Terror: An Ecumenical Perspective on Reconciliation” and part of a series of the 70th STT Jakarta Anniversary Lectures.


A Hymn of Peace



Pray for the Peace of Humanity
Sebuah lagu ciptaan Ibu Gedong Bagus Oka yang selalu dinyanyikan dalam setiap workshop pemberdayaan rekonsiliasi menandai bahwa damai tidak bisa lahir sendiri. Damai membutuhkan hati dan nurani yang jernih untuk memulai sebuah proses. Damai membutuhkan mata untuk melihat dengan cermat dan teliti. Damai membutuhkan pikiran jernih untuk menganalisa. Damai membutuhkan tangan untuk menata. Damai membutuhkan kaki untuk mulai beranjak meninggalkan luka dan dendam. Damai membutuhkan kesadaran untuk mengubah paradigma. Damai membuthkan pribadi-pribadi yang merelakan dirinya untuk berkorban. Damai membutuhkan daya manusia untuk terus berjuang mewujudkannya. Damai membutuhkan doa agar semua manusia tergerak untuk menghidupinya.


Pray for the peace of humanity

Pray for the peace of humanity

Pray for the peace of humanity

Humanity shall live in peace

Shalom

Salam

Shanti

Sadhu

Sanchai

Sukitata

Humanity shall live in peace


Make yourself to be availabe for peace of humanity