Roma 12:1-8
Hari ini, delapan tahun yang lalu, saya berada diantara ratusan, bahkan mungkin ribuan pemuda dan mahasiswa, memenuhi alun-alun utara keraton Yogyakarta, mendengarkan maklumat Sri Sultan Hamengku Buwono X yang mendukung gerakan reformasi mahasiswa. Hari itu semua toko-toko di sepanjang jalan protokol di kota pelajar itu tutup. Di depan toko, ruko, atau warung, bahkan rumah penduduk, disediakan beraneka makanan, mulai dari arem-arem, lemper, tempe, dan lain-lain sampai berbotol-botol air mineral. Semuanya disediakan untuk arak-arakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta yang berjalan dari kampus masing-masing menuju alun-alun utara. Sehari kemudian, Suharto mengundurkan diri.
Dalam hati saya terharu melihat partisipasi warga masyarakat Yogyakarta waktu itu. Mereka rela meninggalkan aktivitasnya, bahkan menyiapkan perbekalan untuk mahasiswa yang berdemo – yang juga lapar! Saya sempat saya mengajak ngobrol beberapa warga yang antusias melempar-lemparkan bungkusan makanan pada barisan mahasiswa di jalan Malioboro. Satu kesamaan alasan mengapa mereka melakukan itu; mereka ingin melihat perubahan! Karena begitu tingginya kerinduan untuk melihat perubahan, sampai mereka merelakan uang dan waktunya, untuk menyiapkan makanan bagi para demonstran. Mungkin pengorbanan para warga itu tidak seberapa, bila dibandingkan dengan pengorbanan para pahlawan reformasi dalam tragedi Trisakti, yang harus meregang nyawa demi satu harapan: perubahan.
Semenjak saat itu, wajah negeri ini berubah! Dulu, orang takut untuk mengungkapkan pendapat yang berbeda. Sekarang semua orang berteriak ingin pendapatnya didengarkan. Tak jarang ada pedapat yang asal berbeda. Akhirnya, semuanya jadi tidak beraturan. Sekali merdeka, merdeka sekali! Begitu mungkin semboyannya. Saking merdekanya, seorang pencuri sandal harus mati mengenaskan, dipukuli warga di depan Universitas Putra Bangsa, Surabaya. Saking merdekanya, di suatu Gereja X, ada yang merasa berhak memukul pendeta karena berbeda pendapat. Mungkin benar kata orang-orang: Itulah Indonesia!
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Setiap kita pasti menginginkan perubahan. Bahkan, tanpa sadar, kita sendiri juga mengalami perubahan itu. Delapan tahun yang lalu, saya masih atletis. Rambut saya tebal. Sekarang berubah menjadi gemuk dan rambut mulai menipis. Yah… memang benar bahwa tiada yang tidak berubah. Yang penting untuk kita pertanyakan sekarang adalah: perubahan yang bagaimana dan ke arah mana?
Paulus, di dalam suratnya untuk jemaat di Roma, dengan gamblang memberikan jawaban atas dua pertanyaan di atas di dalam ayat 2. Yang pertama adalah: tidak menjadi serupa dengan dunia. Situasi dan kondisi dunia kita sudah sedikit saya uraikan di atas. Sama-sama mencari nafkah, seseorang bisa menjadi tukang sapu jalan tol, yang lain bisa jadi bandar narkotika dan obat terlarang. Sama-sama ingin mendapatkan hiburan, yang satu pergi menemui majelis atau pendeta untuk bercurhat, yang lain tenggelam dalam napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif). Menurut saudara, mana yang serupa dengan dunia, mana yang tidak?
Yang kedua – ini poin pentingnya – adalah: berubah! Perubahan adalah suatu proses. Ada situasi awal, kemudian ada proses yang terjadi, lalu ada hasil dari keseluruhan proses. Hasil akhir ini bermacam-macam. Ada yang sama dengan situasi awal, ada juga yang sama sekali berbeda. Misal, ada seorang pencopet yang tertangkap. Kemudian dimasukkan ke dalam lembaga pemasyarakatan. Ketika keluar, dia bisa jadi orang baik-baik, atau bisa juga jadi perampok. Dia mengalami perubahan juga, tetapi yang mana?
Ayat 2 dengan gamblang menjelaskan bahwa perubahan itu harus didasari oleh pembaharuan budi. Tidak asal berubah, melainkan berubah menurut pembaharuan budi! Secara sederhana, bisa dikatakan berubah menjadi lebih baik. Parameternya: dapat membedakan mana kehendak Allah dan mana yang bukan. Kehendak Allah itu yang bagaimana? Dijelaskan secara sederhana dalam ayat tersebut, yaitu apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Kalau kembali pada kisah pencopet tadi, pasti saudara bisa dengan gampang menunjuk mana yang berubah menurut pembaharuan budi.
Lebih dalam lagi, kalau kita cermati keseluruhan perikop, kita akan menemukan bahwa semuanya itu diletakkan dalam kerangka bagaimana manusia merespon anugerah Tuhan. Respon atau jawaban tersebut diwujudkan dalam bentuk mempersembahkan hidup sebagai ibadah yang sejati. Mempersembahkan hidup sebagai persembahan dan ibadah sejati mengandaikan penghargaan akan hidup itu sendiri. Orang bisa menghargai hidupnya bila ia telah mengubah paradigma atau cara pandangnya, misalnya, hidup bukanlah suatu masalah untuk dipecahkan, melainkan rangkaian anugerah yang sudah sepatutnya disyukuri. Dari hal ini, kita bertemu lagi dengan yang namanya: perubahan.
Sekarang, kita kembali melihat diri kita sendiri. Tanpa terasa, hampir enam tahun kita mandiri. Perubahan, pasti sudah terjadi. Pertanyaannya adalah, sudah sejauh mana kita berubah? Ke arah mana gerangan perubahan itu terjadi? Atau malah belum sejauh itu. Jangan-jangan kita malah anti terhadap perubahan. Kita sudah merasa mapan, walau sebenarnya sedang terombang-ambing di dalam ketidakmapanan. Atau, dengan kencang meneriakkan perubahan, tetapi dia sendiri tidak berubah. Bisa juga, ia sangat mengharapkan situasi dunianya berubah, namun ia tidak melakukan apa-apa. Dalam hal ini kita bisa belajar dari Mahatma Gandhi. Judul renungan di atas sebenarnya merupakan satu ungkapan penting dari Gandhi. ”Be the change you wish to see in the world.” Berubahlah sejalan dengan perubahan yang kamu harapkan, begitu kira-kira terjemahan bebasnya. Artinya, sebelum menuntut orang lain berubah, kita harus berubah terlebih dahulu. Singkatnya: menjadi agen perubahan.
Tidak hanya Gandhi. Satu semboyan reformasi yang cukup terkebal adalah “eclesia reformata quia simper reformanda.” Gereja pembaharu haruslah selalu memperbaharui diri. Sangat menarik, sebab yang terjadi justru sebaliknya. Banyak gereja yang mengaku beraliran reformasi, namun malah enggan berubah, bahkan anti perubahan! “Pathok bangkrong,” begitu istilah orang Jawa. Padahal sejarah dunia sudah membuktikan bahwa yang anti terhadap perubahan akan tergilas zaman. Saudara-saudara pasti tahu kenapa Sekarang tidak ada lagi Pterodactyl, Tyranosaurs-rex, atau Triceratops dan Brontosaurs. Selain disebabkan adanya bencana alam, yang memunahkan, juga karena mereka berevolusi, berubah menyesuaikan diri dengan kondisi alam dan lingkungannya. Dari perubahan itu, muncullah spesies baru.
Kembali pada pembicaraan tentang gereja kita. Dalam tataran yang lebih luas, jajaran Gereja-gereja Kristen Jawa juga tengah mengalami perubahan. Misal, pada tahun 2005 diterbitkannya revisi Pokok-Pokok Ajaran GKJ, Tata Gereja, Tata Laksana, serta Pertelaan. Dalam proses revisi tersebut, muncul pemikiran-pemikiran baru yang menghembuskan angin perubahan, seperti mulai dipercakapkan dan dikaji Perjamuan Kudus untuk anak. Yang sudah tertuang dalam Tata Laksana; pergantian istilah dari “Pengakuan Dosa” diubah menjadi “Penerimaan Pertobatan.” Dulu siapa yang dilayani pertobatannya harus diumumkan sekali dalam warta gereja, sekarang tidak perlu lagi diwartakan. Pendek kata, mau tidak mau perubahan itu memang harus terjadi, seiring dengan kedalaman dan kedewasaan bergereja.
Bagaimana dengan kita? Apakah paradigma dan pola pikir kita akan tetap sama; tidak mau berubah menjadi lebih baik? Atau, kita boleh bersikap kritis, apakah perubahan yang kita lakukan sudah menuju ke arah yang lebih baik? Atau, jangan-jangan, semuanya itu hanya slogan semata, untuk mempermanis penampilan kita, namun justru kita sendiri tidak melakukan apa-apa, bahkan membenci orang yang mau berubah menjadi lebih baik. Satu hal yang pasti: berubahlah oleh pembaharuan budimu! Amin.
Nur Ilahi terpancar abadi, menerawang sukma, menebar asa...
Pdt. Didik Christian Adi Cahyono.
_____________________
[1] Salah satu kata mutiara Mahatma Gandhi. Tulisan ini ditulis untuk
Buku Pelayanan Jemaat GKJ Gandaria 2006.