Kejadian 22:1-19
Adalah biasa kalau kita meminta sesuatu atau bahkan banyak hal kepada TUHAN. Di dalam doa-doa yang kita ucapkan, serasa tidak lengkap bila tanpa menyebutkan permintaan. Walau dalam praktek permohonan itu diletakkan dalam bagian akhir dari doa kita, tetapi toh tetap ada. Tidak ada yang salah terhadap kelaziman ini. Ini hal biasa. Sekarang, pernahkah saudara memikirkan bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya? Bukan kita yang meminta kepada TUHAN, melainkan TUHAN yang meminta kepada kita untuk melakukan sesuatu? Ini baru luar biasa…
Perikop kita kita saat ini menceritakan hal yang luar biasa itu. Kisah sedih keluarga Abraham yang diminta TUHAN untuk mempersembahkan anak tunggalnya, Ishak, menjadi korban bakaran. Memang perikop kita tidak menceritakan bagaimana pergumulan yang harus dirasakan oleh Abraham, dan juga istrinya. Namun, coba kita sejenak berempati dan masuk ke dalam dunia teks ini. Selama 100 tahun Abraham menantikan penggenapan janji TUHAN bahwa ia akan diberi keturunan sebanyak bintang di langit dan pasir di pantai. Ia menunggu hingga 1 abad untuk dapat mendengar tangisan anaknya. Memang sih, ketika usia 86 tahun ia sudah dikaruniai anak, Ismael, tetapi itu bukan dari rahim istrinya, Sara, melainkan dari udak perempuan istrinya, Hagar. Jadi bayangkan saudara-saudara, setelah menunggu sekian lama untuk menimang anak, ehh.. baru beberapa lama TUHAN memintanya untuk mengorbankan anaknya itu. Ini berarti Abraham harus merelakan kematian anak yang dikasihinya. Dan yang lebih menyayat hati, anak itu harus mati di tangannya sendiri.
Namun, memang tidak salah kalau Abraham disebut sebagai Bapa Orang Beriman. Kadar iman yang ditunjukkan Abraham memang luar biasa! Dari sejak semula ia dipanggil dari tanah Ur Kasdim menuju ke tanah terjanji yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Tanpa Tanya, ia berangkat memenuhi panggilan TUHAN. Sangat berbeda dengan kita. Kalau diberi tugas atau mandat, sering lebih banyak protes. Bukan bagianku lah, ini cocok untuk si itu lah, apa untung ruginya buat aku lah, dll. Juga ketika ia sekali lagi ketiban sampur untuk memenuhi panggilan TUHAN agar mengorbankan Ishak. Tanpa secuil pun tanya ia berangkat, walau kita bisa membayangkan bagaimana galaunya perasaan Abraham. Ketika sampai di salah satu gunung di tanah Moria, terjadi lagi sebuah fragmen yang sangat menyayat hati. Perhatikan ayat 7. Ishak menanyakan di mana anak domba untuk korban bakaran. Dengan penuh keyakinan Abraham menjawab TUHAN yang akan menyediakan. Ishak belum tahu bahwa sebenarnya dirinyalah yang akan berperan sebagai korban bakaran itu. Bahkan ia tidak memberontak ketika kemudian ayahnya mengikatnya dan membaringkan di atas tumpukan kayu serta kemudian bersiap untuk menyembelihnya.
Untunglah kemudian Malaikat TUHAN datang dan memerintahkan Abraham untuk tidak membunuh anaknya. Melaikat itu juga mengungkapkan pengakuan atas iman yang dimiliki Abraham, bahwa ia, didasari atas sikap takut akan TUHAN, tidak segan-segan menyerahkan anak tunggalnya kepada TUHAN. (ayat 12) Abraham lulus dari ujian. Perintah TUHAN untuk mengorbankan Ishak adalah suatu pendadaran bagi Abraham, apakah ia merelakan apa pun juga, termasuk di dalamnya anak lagi-laki yang sekian lama dinantikan kehadirannya, untuk diserahkan kepada TUHAN. Dari sini kita bisa belajar bahwa takut akan TUHAN adalah segala-galanya. Bukan lagi suatu kegelisahan batin yang luar biasa, melainkan suatu penghormatan dan kepatuhan kepada TUHAN. Dalam ungkapan bahasa Jawa kita biasa mendengar ajrih asih mring Gusti, pakering. Dalam peristiwa pengorbanan ini kita juga melihat bahwa kerelaan Abraham untuk mematuhi dan memenuhi permintaan TUHAN bukan hanya terkait dengan hati seorang ayah yang membawakan korban tertinggi, yaitu kasihnya kepada anak, melainkan juga sebagai seorang percaya yang menyerahkan dan mengorbankan segala apa yang diterima dari TUHAN untuk dipersembahkan kepada TUHAN pula. Dalam hal inilah kelulusan Abraham ditentukan. TUHAN yakin akan kualitas iman Abraham. Karena itulah kemudian TUHAN menyediakan seekor domba jantan yang kemudian dikorbankan Abraham sebagai pengganti anaknya. Terjadi seperti apa yang diyakini Abraham, bahwa TUHAN akan menyediakan anak domba sebagai korban bakaran. (ayat 8) Tidak hanya itu, TUHAN juga menganugerahkan berkat yang melimpah bagi Abraham. (ayat17-18)
Kita sudah sering meminta melakukan sesuatu bagi kita. Bukan sering lagi, melainkan kita selalu meminta. Sekarang coba renungkan, kira-kira apakah kita juga memenuhi apa permintaan TUHAN bagi hidup kita? Atau lebih parah lagi kita malah tidak pernah tahu apa permintaan TUHAN dalam hidup kita. Kita terlalu asyik dengan perhitungan-perhitungan nalar yang kita sendiri. Kita terlalu banyak mempertimbangkan ketika hendak melakukan sesuatu yang sebenarnya TUHAN kehendaki untuk kita lakukan. Kita meyakini bahwa waktu yang ada adalah karunia TUHAN, namun ketika suatu saat kita diminta untuk mempersembahkan waktu itu bagi Dia, muncul seribu alasan dan dalih. Bahkan saya pernah mendengar ada seorang yang tidak bisa ikut kegiatan di gereja karena dilarang oleh orang tuanya. Jauh rumahnya, banyak tugas sekolah, dll. menjadi dalihnya. Padahal hanya waktu yang diminta, belum yang lain. Lagi saudara yang terkasih. Kita juga menghayati bahwa keluarga kita adalah karunia TUHAN. Kita diberikan seorang yang mau menerima dan mengerti kita, pasangan kita. TUHAN tidak meminta banyak, hanya agar kita saling asah, asih dan asuh. Bukan untuk orang lain permintaan itu, melainkan untuk kita sendiri, namun, apa ya sudah dengan sungguh-sungguh kita lakukan. Coba ingat panggilan TUHAN bagi orang yang menikah.
1. Mewujudkan kesatuan keluarga.
2. Menjaga kelestarian keluarga.
3. Menjaga kekudusan keluarga.
4. Silih asah, asih dan asuh berdasarkan firman TUHAN.
5. Senantiasa bersyukur.
Waduh, sudah lupa, tuh. Pendek kata, ternyata ada banyak permintaan TUHAN yang justru pada akhirnya tertuju untuk kita juga. Tapi kok ya cik uangel men se...!!
Berikutnya, iman kita sering kali iman yang penuh dengan syarat. Kita baru percaya ketika kita melihat. Abraham menunjukkan contoh yang luar biasa ketika Ishak menanyakan dimana domba korbannya. Abraham menjawab nanti disediakan TUHAN. Memang benar, TUHAN menyediakan, tetapi itu ada setelah Abraham lulus dari ujian, yang dengan ikhlas mengorbankan anak tunggalnya. Sering kita tidak mau berbuat sesuatu karena falsafah mengko gek.... TUHAN memberi berkat atas dasar keyakinan yang ada. Abraham yakin TUHAN akan menyediakan, dan ia mendapatkan jawaban. Santo Agustinus pernah mengatakan : Faith is to believe what we do not see; and the reward of this faith is to see what we believe. Janji TUHAN akan damai sejahtera itu pasti, namun karena kita tidak mempercayai, ya akhirnya yang terlihat adalah dukacita, nestapa, nelangsa, dan kawan-kawannya. Ada berbagai pergumulan, bahkan mungkin kesedihan yang menimpa kita, namun janji TUHAN pun tidak bisa diingkari, problemnya adalah apa kita percaya, seperti percaya yang ditunjukkan Abraham? Ternyata, walaupun damai sejahtera itu anugerah, namun harus ada perjuangan untuk mendapatkannya. Dari kisah Abraham nempak jelas juga, bahwa perjuangan itu bukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk kita juga. Janji TUHAN sudah terucap, tinggal bagaimana kita menanggapi dan menjawab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Betul pak, kalau kita beriman kita percaya sepenuhnya terhadap yang memimpin, walau kita tidak tahu mau dibawa kemana...
BalasHapus