Mengerikan. Satu kata yang saya pakai untuk menggambarkan relasi antar agama, khususnya Islam-Kristen sepanjang sejarah peradaban manusia. Terkesan terlalu bombastis memang. Namun, bila kita sejenak menengok perjalanan sejarah persinggungan antara kedua agama Abraham ini, kita akan menemukan tetesan-tetesan darah, gumpalan amarah, bahkan dendam berkepanjangan. Wajarlah jika kemudian terasa ada tembok yang membatasi keduanya. Keengganan muncul untuk berbagi sapa, bahkan kalaupun terjadi perjumpaan, tatap curiga selalu terasa.
Ironis, karena betapapun dalamnya luka masa lalu itu, kita toh hidup dalam rumah yang sama. Paradoks pun terjadi. Di satu sisi, kita harus bersama-sama memelihara dan merawat rumah itu, namun di sisi lain luka lama itu membuat ketidaknyamanan suasana sehingga enggan bertegur sapa. Padahal tugas kita tidak hanya untuk merawat dan menjaga rumah, melainkan harus membuat salam dirasakan dan terpancar keluar. Satu lagi ironi muncul. Ada panggilan bersama yang seharusnya bisa dijadikan dasar untuk berbagi, namun karena begitu dalam luka yang tertoreh, bukan uluran tangan dan sapaan menyejukkan yang terbagi, melainkan ketakutan dan kemarahan yang akhirnya membuat tembok pembatas itu semakin tebal dan tinggi. Rumah yang seharusnya menjadi tempat bernaung yang tenteram kini terkotak-kotak oleh tembok-tembok prasangka, dendam dan angkara. Terkadang muncul usikan yang membuat ketidaknyamanan, bahkan satu dengan yang lain berniat untuk mengusir keluar dari rumah. Semua itu bermuara pada upaya hegemonisasi satu dengan yang lain.
Ada upaya untuk membongkar tembok primordialisme ini. Mulai dengan upaya untuk membangun pemahaman, sampai komitmen untuk duduk bersama dalam dialog yang sehat. Ini mensyaratkan adanya keinginan untuk mencoba mengerti arti kehadiran masing-masing dalam rumah itu. Tetapi, ini pun belum mencukupi, selama masih ada hasrat untuk menaklukkan satu dengan yang lain. Perjumpaan dan dialog yang terjadi pun dimanipulasi untuk mencari kelemahan satu dengan yang lain. Selamanya akan terus begitu jika keakuan masih menjadi tolok ukur.
Sejarah mencatat rangkaian peristiwa tragis ketika ”aku” menjadi sebuah totalitas yang selalu meniadakan ruang, bahkan menaklukkan “yang lain.” Relasi yang terbangun antara “aku” dengan “yang lain” adalah relasi I – It (aku – benda). Akibatnya, muncul subordinasi, bahkan penaklukkan satu dengan yang lain. Karenanya Kita ingat bagaimana totalitas “aku” yang termanifestasikan dalam faham fasisme Nazi yang mencoba menaklukkan kaum Yahudi sebagai “yang lain.” Kita patut berterima kasih kepada pemikiran Emmanuel Levinas yang mencoba mengkritisi totalitas “aku” dan mengangkat “yang lain.” “Yang lain” adalah suatu entitas di luar “aku.” Jika selama ini relasi antara “aku” dengan “yang lain” adalah penaklukan “yang lain” oleh “aku,” maka dibutuhkan adanya pengakuan akan keberadaan “yang lain” agar relasi yang terbangun menjadi seimbang. “Yang lain” adalah suatu entitas di luar “aku” yang bisa hidup bersama, bukan sebagai sosok untuk ditaklukkan dalam totalitas “aku.” Pengakuan dan penghargaan akan keberadaan “yang lain” akan mengubah relasi yang semula I – It, menjadi I – Thou (aku – engkau), seperti pergumulan Martin Buber.
Kita kembali ke dalam rumah yang telah terkotak-kotak oleh pemahaman sempit penghuninya yang secara historis masih bersaudara. Kesadaran untuk mengakui dan menghargai keberadaan entitas di luar dirinya menjadi unsur penting sebelum memulai untuk berdialog. Dialog bukan sebagai wahana apologetika yang bertujuan untuk saling menaklukkan, saling menganggap dirinya sebagai totalitas “aku” dan meniadakan “yang lain,” melainkan sebagai kesempatan untuk menyapa Thou – bukan It – satu dengan yang lain. Dengan cara ini, kita bisa mulai meruntuhkan dinding keangkuhan yang membuat tidak nyaman rumah yang kita tinggali. Mungkin masih ada sekat yang membedakan dan memisahkan, karena masing-masing memiliki ruang yang berbeda dan memang memiliki perbedaan dan keunikan. Masing-masing adalah “yang lain” bagi masing-masing, entitas di luar “aku” yang berdiri sendiri dan bukan sebagai bagian dari “aku” yang harus ditaklukkan.
Dari pemahaman di atas, kita bisa mulai menyadari bahwa ternyata di dalam rumah kita ada orang lain yang hidup bersama dengan kita. Ada perbedaan, Namun perbedaan itu tidak berarti meniadakan perjumpaan, melainkan justru karena ada perbedaan itulah dialog bisa dilakukan. Hal ini akan membawa kita pada kesadaran dan penghayatan bahwa kita tinggal di rumah yang sama, di bumi yang sama, di bawah langit yang sama. Karenanya, kita harus berbagi. Ya... Berbagi rumah dengan yang lain demi memenuhi panggilan kita bersama, mewujudkan rahmatan lil alamin, damai sejahtera bagi semua ciptaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar