25 Juni 2009

MASIH ADAKAH...?

1 Raja-raja 17:7-16

Sering kita menemukan bahwa “kekurangan” bisa membuat orang lupa segala-galanya, menghalalkan segala cara, bahkan melakukan kejahatan. Cobalah tengok sejenak berbagai tayangan kriminal di televisi. Ada orang yang terpaksa mencuri karena butuh makan, terpaksa membunuh untuk mendapatkan uang atau bahkan terpaksa memperkosa karena tidak bisa menahan luapan syahwat. Berbagai situasi “kekurangan” membuat orang terpaksa melakukan, bahkan kadang yang diluar nalar sekalipun. Namun, apakah situasi kekurangan itu selalu bermuara pada kejahatan?

Kisah dramatis, yang kalau kita cermati, bisa menyentuh hati kita. Alkisah, bangsa Israel sedang dihukum Tuhan dengan kekeringan. Jangankan hujan, embun pun tidak akan membasahi tanah Israel. (17:1) Bahkan hukuman itu juga dirasakan Elia, nabi Allah yang taat. Ia sempat bertahan beberapa saat di Sungai Kerit, namun karena dahsyatnya kekeringan yang melanda, Sungai Kerit pun kerontang. Dalam situasi seperti itu, ia diperintahkan Tuhan untuk berjalan menuju Sarfat, wilayah Sidon, di bagian Utara Israel.

Elia kemudian berjalan menuju Sarfat. Setibanya di sana ia bertemu dengan seorang janda yang sedang mencari kayu bakar. Elia minta minum kepadanya. Belum juga permpuan tadi mengambil air minum, Elia menambahkan permintaannya. Ia meminta roti. (ay. 11) Ternyata sang janda tidak lebih baik dari Elia. Ia sedang mencari kayu bakar untuk memasak sisa tepung dan minyak persediaannya yang terakhir. Di sini suasana yang menggetarkan terjadi. Elia meminta si janda membuatkan roti baginya terlebih dahulu, baru kemudian ia membuat untuk anak dan dirinya sendiri. Aneh dan luar biasa! Jika biasanya orang menolak memberikan sesuatu dari keterbatasan miliknya, bahkan dengan dalih keterbatasan ia menghalalkan segala cara, si janda ini sungguh lain! Hanya berbekal pada janji yang disampaikan Elia bahwa minyak dan tepungnya tidak akan habis, sang janda merelakan adonan pertama dari rotinya untuk mengobati kelaparan Elia. Di tengah keterpurukan situasi karena kekeringan melanda. Di tengah keterbatasan persediaan makanan, janda Sarfat menunjukkan pelajaran yang sungguh amat berarti. Ia rela untuk berbagi makanan dengan Elia, seorang asing yang baru ditemuinya ketika ia mencari kayu bakar. Ia tulus menerima Elia dengan segala ketiadaannya. Ia memberikan justru pada saat ia membutuhkan. Inilah pemberian yang terbaik! Pemberian yang muncul bukan dari kelimpahan, melainkan berdasarkan kekurangan dan keterbatasannya.

Berbeda dengan situasi kita. Kekurangan dan keterbatasan sering kita pakai sebagai dalih untuk tidak berbuat baik. Bahkan, seperti fakta yang saya ungkapkan di atas, keterbatasan justru menjadi sebuah alasan untuk melegalkan tindakan kejahatan. Lebih dalam lagi. Ketulusan untuk memberikan yang sama dengan yang ia nikmati, ketulusan yang tanpa pamrih, tanpa menuntut balasan. Ia berbagi roti dengan Elia tanpa menuntut imbalan, bahkan sebelum ia tahu bahwa janji Elia akan terbukti. Yang sering terjadi, kita pasti akan menuntut serentetetan permintaan sebelum kita memberikan sesuatu. Atau, ketika memberikan, kita menuntut imbalan. Bisa juga, kita hanya sekedar memberikan. Yang penting memberikan, tak jadi soal apakah pemberian itu berkualitas atau tidak. Atau lebih parah lagi, pemberian itu tidak didasari atas rasa tulus dan kebulatan hati.

Kalau kemudian kita sejenak mencoba merenungkan hidup yang kita jalani. Bukankah segenap hidup kita adalah pemberian dariNya? Tetapi apa jawab kita ketika Ia meminta kita memberikan sesuatu bagiNya? Adakah ketulusan itu menjadi jawaban? Atau keterbatasan menjadi dalih kita? Atau bahkan justru kita balik menuntut imbalan atas perintah dan kehendakNya bagi kita? Mungkin kita harus berbesar hati untuk mengakui iman kita tidak sebesar janda Sarfat, karena selama ini kita hanya menyisihkan sisa-sisa dari kita sebagai pemberian, bahkan kepada Tuhan. Kita baru bisa memberikan sisa waktu kita, sisa tenaga kita, sisa pikiran kita, sisa uang kita, bahkan sisa hidup kita. Jangankan untuk orang lain, lha wong untuk Tuhan saja kita bisa berbuat begitu.

Mari kita bercermin dan bertanya: masih adakah ketulusan itu? Mari kita jawab bersama dengan karsa dan karya. Amin.

1 komentar:

  1. Ketulusan adalah barang mewah yang selalu kita inginkan. Dan, tidak akan kita bagikan...

    Maste

    BalasHapus