Prawacana
Sebelum berbicara mengenai tema pesan abadi dalam Kitab Suci, ada dua hal yang menurut hemat saya perlu kita cermati. Pertama, adanya unsur subjektifitas. Hal ini bergantung sepenuhnya dari intensitas interaksi antara subjek (baca: pribadi) dengan teks Kitab Suci. Belum lagi kalau kita kemudian melihat dari teks Kitab Suci yang lain (baca: agama lain). Kedua, kesadaran akan adanya subjektifitas inilah yang justru menarik, karena kita akan mengalami perjumpaan dari subjek-subjek yang lain yang masing-masing membawa subjektifitasnya. Perjumpaan inilah yang membawa pada kesadaan dan pemahaman pada kehendak-Nya.
Dari Sebentuk Doa
Matius 6:9-13
6:9 Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu,
6:10 datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.
6:11 Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya
6:12 dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;
6:13 dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. [Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.]
Kalimat-kalimat di atas kita kenal dengan sebutan Doa Bapa Kami. Doa yang diajarkan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya ini sangat berkaitan erat dengan pokok pewartaan Yesus, yaitu Kerajaan Allah. Dengan kata lain, di dalam doa inilah terungkap visi dan misi Yesus di dunia. Seperti yang tetulis dalam ayat 10 dikatakan …”datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu dibumi seperti di sorga.”
Kedatangan Yesus ke dunia adalah dalam rangka mewujudkan visi dan misinya, yaitu mendatangkan Kerajaan Allah (sering juga disebut sebagai Kerajaan Sorga) sehingga kehendak Allah terjadi di bumi seperti di sorga. Kerajaan Allah yang dimaksudkan bukan suatu nasion yang ditandai dengan teritorial tertentu, bukan kompetisi keagamaan yang berebut pengaruh. Kerajaan Allah adalah proses. Dipahami sebagai situasi yang sedang terjadi saat ini. The Reign of God is something that happens. Kerajaan Allah bukanlah suatu makna yang simple dan statis, melainkan suatu konsep yang dinamis. Kerajaan Allah adalah ketika kasih berada dan menjiwai hati setiap orang, ketika kemenangan keadilan mengalahkan ketidakadilan dari suatu komunitas kemanusiaan. Kerajaan Allah adalah ketika kuasa Allah memberdayakan kita untuk berani hidup di tengah situasi dan keadaan yang penuh dengan kesengsaraan dan penderitaan.[2] Kerajaan Allah adalah ketika yang lapar dikenyangkan, ketika yang sedih digembirakan sehingga terhibur, ketika yang putus asa beroleh harapan. Ketika semuanya terwujud, maka saat itulah Kerajaan Allah menjadi nyata, kehendak Allah terjadi di bumi seperti di sorga. Dengan bahasa yang lebih sederhana, Kerajaan Allah adalah ketika damai sejahtera dirasakan secara konkret.
Di dalam doa yang terlihat sederhana itu, Yesus hendak menunjukkan bahwa, tidak ada yang lebih utama selain mewujudkan kehendak Tuhan di dalam hidup-Nya, di dalam seluruh pelayanan yang Dia lakukan. Dalam kerangka ini kita bisa memahami bahwa semua yang dilakukan Yesus, baik mujizat, pengajaran, bahkan sampai kematian-Nya adalah upaya untuk merealisasikan visi dan misi-Nya tersebut. Contoh sederhana dari hal di atas seperti terdapat dalam Matius 25:40 ... “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Dalam ayat ini terkandung pemahaman bahwa mengenai bagaimana kita memandang relasi dengan orang lain, tentang bagaimana kita bersikap dalam menghadapi ketidakadilan, kemiskinan yang menimpa saudara kita. Dan yang lebih dalam lagi adalah bagaimana mewujudkan kehendak Allah di dalam hidup kita.
Contoh yang lain, misalnya dalam Matius 13:31-33
13:31 Yesus membentangkan suatu perumpamaan lain lagi kepada mereka, kata-Nya: "Hal Kerajaan Sorga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya.
13:32 Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar dari pada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya."
13:33 Dan Ia menceriterakan perumpamaan ini juga kepada mereka: "Hal Kerajaan Sorga itu seumpama ragi yang diambil seorang perempuan dan diadukkan ke dalam tepung terigu tiga sukat sampai khamir seluruhnya."
Yesus memakai biji sesawi dan ragi untuk menggambarkan konsep tentang Kerajaan Sorga, ini menunjukkan bahwa sebenarnya, untuk mewujudkan kehendak Allah di dalam hidup kita, , kita bisa memulai dengan hal-hal yang kecil dan sederhana, Salah satu contoh, saya mengutip sajak yang ditulis oleh Kim Chi Ha, penyair Kristen dari Korea:[3]
Sorga adalah nasi
Karena kita tidak dapat pergi ke sorga sendirian
Kita harus bersama-sama membagi beras
Karena semua memperoleh terang bintang-bintang di langit
Kita harus membagi dan makan nasi bersama
Sorga adalah nasi
Kalau kita makan dan menelan nasi
Sorga tinggal di dalam tubuh kita
Nasi adalah sorga
Ya, nasi adalah soal pokok
Kita harus makan bersama
Contoh lain. Huruf Cina untuk kata damai adalah “wa.” Huruf “wa” ini terdiri dari dua kata “padi” dan “mulut.” Jadi damai berarti menyalurkan padi atau makanan kepada sesama atau berarti juga keadilan. Dalam arti sederhana, damai sejahtera adalah ketika mulut terisi nasi.
Menjadi Motivasi Hidup
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa bait doa yang diajarkan Yesus tidak hanya sebuah bait doa biasa, melainkan di situlah terungkap apa yang Tuhan kehendaki bagi umat-Nya; mewujudkan kehendak Tuhan, damai sejahtera di bumi seperti di sorga. Tugas kita sekarang adalah terus menggemakan dan memperjuangkan agar Kerajaan Allah datang dan kehendak-Nya terwujud, sehingga damai sejahtera sungguh-sungguh dirasakan secara konkret dan real bagi semua orang.
Pray for the peace of humanity
dcac
_____________________
[1] Disampaikan dalam Diskusi Antar Iman “Pesan Abadi Tuhan dalam Teks-teks Suci Agama” diselenggarakan oleh Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) 4 April 2009.
[2] C. S. Song, Jesus and the Rign of God. Minneapolis: Fortress Press, 1993.
[3] Masao Takenaka, Nasi dan Allah. Jakarta : Gunung Mulia. 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar