25 Juni 2009

MASIH ADAKAH...?

1 Raja-raja 17:7-16

Sering kita menemukan bahwa “kekurangan” bisa membuat orang lupa segala-galanya, menghalalkan segala cara, bahkan melakukan kejahatan. Cobalah tengok sejenak berbagai tayangan kriminal di televisi. Ada orang yang terpaksa mencuri karena butuh makan, terpaksa membunuh untuk mendapatkan uang atau bahkan terpaksa memperkosa karena tidak bisa menahan luapan syahwat. Berbagai situasi “kekurangan” membuat orang terpaksa melakukan, bahkan kadang yang diluar nalar sekalipun. Namun, apakah situasi kekurangan itu selalu bermuara pada kejahatan?

Kisah dramatis, yang kalau kita cermati, bisa menyentuh hati kita. Alkisah, bangsa Israel sedang dihukum Tuhan dengan kekeringan. Jangankan hujan, embun pun tidak akan membasahi tanah Israel. (17:1) Bahkan hukuman itu juga dirasakan Elia, nabi Allah yang taat. Ia sempat bertahan beberapa saat di Sungai Kerit, namun karena dahsyatnya kekeringan yang melanda, Sungai Kerit pun kerontang. Dalam situasi seperti itu, ia diperintahkan Tuhan untuk berjalan menuju Sarfat, wilayah Sidon, di bagian Utara Israel.

Elia kemudian berjalan menuju Sarfat. Setibanya di sana ia bertemu dengan seorang janda yang sedang mencari kayu bakar. Elia minta minum kepadanya. Belum juga permpuan tadi mengambil air minum, Elia menambahkan permintaannya. Ia meminta roti. (ay. 11) Ternyata sang janda tidak lebih baik dari Elia. Ia sedang mencari kayu bakar untuk memasak sisa tepung dan minyak persediaannya yang terakhir. Di sini suasana yang menggetarkan terjadi. Elia meminta si janda membuatkan roti baginya terlebih dahulu, baru kemudian ia membuat untuk anak dan dirinya sendiri. Aneh dan luar biasa! Jika biasanya orang menolak memberikan sesuatu dari keterbatasan miliknya, bahkan dengan dalih keterbatasan ia menghalalkan segala cara, si janda ini sungguh lain! Hanya berbekal pada janji yang disampaikan Elia bahwa minyak dan tepungnya tidak akan habis, sang janda merelakan adonan pertama dari rotinya untuk mengobati kelaparan Elia. Di tengah keterpurukan situasi karena kekeringan melanda. Di tengah keterbatasan persediaan makanan, janda Sarfat menunjukkan pelajaran yang sungguh amat berarti. Ia rela untuk berbagi makanan dengan Elia, seorang asing yang baru ditemuinya ketika ia mencari kayu bakar. Ia tulus menerima Elia dengan segala ketiadaannya. Ia memberikan justru pada saat ia membutuhkan. Inilah pemberian yang terbaik! Pemberian yang muncul bukan dari kelimpahan, melainkan berdasarkan kekurangan dan keterbatasannya.

Berbeda dengan situasi kita. Kekurangan dan keterbatasan sering kita pakai sebagai dalih untuk tidak berbuat baik. Bahkan, seperti fakta yang saya ungkapkan di atas, keterbatasan justru menjadi sebuah alasan untuk melegalkan tindakan kejahatan. Lebih dalam lagi. Ketulusan untuk memberikan yang sama dengan yang ia nikmati, ketulusan yang tanpa pamrih, tanpa menuntut balasan. Ia berbagi roti dengan Elia tanpa menuntut imbalan, bahkan sebelum ia tahu bahwa janji Elia akan terbukti. Yang sering terjadi, kita pasti akan menuntut serentetetan permintaan sebelum kita memberikan sesuatu. Atau, ketika memberikan, kita menuntut imbalan. Bisa juga, kita hanya sekedar memberikan. Yang penting memberikan, tak jadi soal apakah pemberian itu berkualitas atau tidak. Atau lebih parah lagi, pemberian itu tidak didasari atas rasa tulus dan kebulatan hati.

Kalau kemudian kita sejenak mencoba merenungkan hidup yang kita jalani. Bukankah segenap hidup kita adalah pemberian dariNya? Tetapi apa jawab kita ketika Ia meminta kita memberikan sesuatu bagiNya? Adakah ketulusan itu menjadi jawaban? Atau keterbatasan menjadi dalih kita? Atau bahkan justru kita balik menuntut imbalan atas perintah dan kehendakNya bagi kita? Mungkin kita harus berbesar hati untuk mengakui iman kita tidak sebesar janda Sarfat, karena selama ini kita hanya menyisihkan sisa-sisa dari kita sebagai pemberian, bahkan kepada Tuhan. Kita baru bisa memberikan sisa waktu kita, sisa tenaga kita, sisa pikiran kita, sisa uang kita, bahkan sisa hidup kita. Jangankan untuk orang lain, lha wong untuk Tuhan saja kita bisa berbuat begitu.

Mari kita bercermin dan bertanya: masih adakah ketulusan itu? Mari kita jawab bersama dengan karsa dan karya. Amin.

WIND OF CHANGE[1]


Roma 12:1-2


Masihkah saudara mengingat tulisan di Buku Realisasi Program dan Anggaran Gereja GKJ Gandaria tahun 2005-2006? Kalau sudah lupa, saya sedikit mengingatkan. Tulisan tersebut terinspirasi dari pemikiran Mahatma Gandhi, Be The Change You Wish To Se In The World, yang didasarkan pada surat Paulus kepada jemaat di kota Roma. Intinya adalah tentang perubahan dan bagaimana harus berubah. Tulisan ini sebetulnya adalah kelanjutan dari tulisan di atas; tetap berbicara mengenai perubahan.

Berbicara mengenai perubahan, tiba-tiba saya teringat sebuah lagu yang ditulis dan dipopulerkan oleh grup musik rock asal Jerman, Scorpions, yang judulnya menjadi judul tulisan ini. Dalam refreinnya, dituliskan: “take me to the magic of the moment on a glory night, when the children of tomorrow dream away, in the wind of change…” Dalam terjemahan bebasnya, kira-kira mengisahkan sebuah kerinduan mengenai angin yang membawa perubahan yang lebih baik. Berubah menjadi lebih baik, itu kata kuncinya!

Seperti juga yang disampaikan oleh Paulus dalam suratnya – seperti yang tertulis di atas – perubahan ke arah yang lebih baik menjadi sebuah keharusan dalam kehidupan jemaat Kristen. Berubah untuk menjadi tidak serupa dengan dunia, berubah oleh pembaruan budi, sehingga dapat membedakan mana yang menjadi kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Dan yang lebih menarik lagi, hasil perubahan itu bukan untuk siapa-siapa, melainkah kembali untuk Tuhan di dalam wujud persembahan sejati demi kemuliaan namaNya (ayat 1-2).

Dari pemahaman di atas, kita bisa menemukan pembelajaran bahwa: pertama, hidup kita sebagai umatNya harus senantiasa berubah menjadi lebih baik dan terus menuju kesempurnaan. Kedua, dasar dari semua perubahan itu adalah pembaruan budi, dan hasil dari pembaruan itu adalah semakin mengerti akan kehendak Allah. Dan ketiga, semua proses itu berjalan dalam semangat untuk memberikan yang terbaik, demi kemuliaan Allah.

Dalam ketiga hal itulah GKJ Gandaria mencoba untuk bergerak. Mulai dengan berusaha membenahi semua yang ada dalam dirinya, meninggalkan kebiasaan lama, mencipta hal-hal baru. Seperti yang saudara lihat dalam wujud fisik buku ini. Buku bernama Buku Pelayanan Jemaat. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya yang terekam dalam buku ini bukan semata-mata hasil kerja Majelis, bukan juga semata-mata hasil karya Badan Pembantu Majelis, namun hasil dari seluruh cipta, rasa dan karsa dari segenap jemaat GKJ Gandaria. Dengan demikian, buku ini bukan juga merupakan laporan pertanggungjawaban Majelis kepada jemaat, karena baik Majelis maupun jemaat ikut bertanggungjawab dalam terwujudnya seluruh kegiatan yang terekam dalam buku ini. Dengan kata lain, buku ini ibarat cermin bagi semua yang merekam seberapa baik kita sudah berubah, apa yang sudah kita persembahkan bagi Tuhan.

Perubahan lain yang tampak adalah struktur dan pola pelayanan Majelis. Mulai dari pembidangan Majelis dengan tugas-tugas khususnya. Ini adalah hasil dari sebentuk perubahan untuk melayani lebih baik. Pemahaman mengenai Majelis kelompok – yang selama ini kita anut - dengan sendirinya sudah berganti menjadi Majelis GKJ Gandaria secara utuh dan penuh. Dengan pembidangan itu pula maka ranah pelayanan menjadi semakin konkret.

Dari tahun ke tahun, selalu ada data yang diwacanakan. Namun kadang data-data itu tidak “berbicara”, sehingga timbul kesulitan ketika hendak membacanya. Dalam Buku Pelayanan Jemaat itu, coba disajikan rangkaian data yang “berbicara” sehingga diharapkan mempermudah proses “berkaca.”

Pertanyaan bagi kita sekarang adalah: bagaimana bentuk kita setelah berkaca? Apakah sudah cukup baik, indah dipandang, atau masih ada lubang di sana-sini? Apakah wajah kita sudah bersih dan mulus, atau masih terdapat noda hitam di sana-sini? Yang diperlukan adalah sebuah kejujuran untuk mengakui, kalau pun ada yang kurang, sehingga bukan buruk muka cermin dibelah yang terjadi.

Paling tidak, angin perubahan itu sudah mulai menghembus ke arah kita. Kalau kita semua mengharapkan hal-hal yang lebih baik, mari bersama-sama kita berubah. Menjadi yang terbaik dan memberi yang terbaik bagi kemuliaan Kristus, dan biarlah Kristus dimuliakan dalam semua proses kita. Amin.


“…the wind of change blows straight into the face of time, like the storm wind that will ring the freedom bell for peace of mind…”





Nur Ilahi terpancar abadi, menerawang sukma, menebar asa...
Pdt. Didik Christian Adi Cahyono.


_____________________
[1] Wind of Change, sebuah lagu karya grup musik Scorpions asal Jerman. Tulisan ini dibuat untuk Buku Pelayanan Jemaat GKJ Gandaria 2007.

BE THE CHANGE YOU WISH TO SEE IN THE WORLD[1]

Roma 12:1-8


Hari ini, delapan tahun yang lalu, saya berada diantara ratusan, bahkan mungkin ribuan pemuda dan mahasiswa, memenuhi alun-alun utara keraton Yogyakarta, mendengarkan maklumat Sri Sultan Hamengku Buwono X yang mendukung gerakan reformasi mahasiswa. Hari itu semua toko-toko di sepanjang jalan protokol di kota pelajar itu tutup. Di depan toko, ruko, atau warung, bahkan rumah penduduk, disediakan beraneka makanan, mulai dari arem-arem, lemper, tempe, dan lain-lain sampai berbotol-botol air mineral. Semuanya disediakan untuk arak-arakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta yang berjalan dari kampus masing-masing menuju alun-alun utara. Sehari kemudian, Suharto mengundurkan diri.

Dalam hati saya terharu melihat partisipasi warga masyarakat Yogyakarta waktu itu. Mereka rela meninggalkan aktivitasnya, bahkan menyiapkan perbekalan untuk mahasiswa yang berdemo – yang juga lapar! Saya sempat saya mengajak ngobrol beberapa warga yang antusias melempar-lemparkan bungkusan makanan pada barisan mahasiswa di jalan Malioboro. Satu kesamaan alasan mengapa mereka melakukan itu; mereka ingin melihat perubahan! Karena begitu tingginya kerinduan untuk melihat perubahan, sampai mereka merelakan uang dan waktunya, untuk menyiapkan makanan bagi para demonstran. Mungkin pengorbanan para warga itu tidak seberapa, bila dibandingkan dengan pengorbanan para pahlawan reformasi dalam tragedi Trisakti, yang harus meregang nyawa demi satu harapan: perubahan.

Semenjak saat itu, wajah negeri ini berubah! Dulu, orang takut untuk mengungkapkan pendapat yang berbeda. Sekarang semua orang berteriak ingin pendapatnya didengarkan. Tak jarang ada pedapat yang asal berbeda. Akhirnya, semuanya jadi tidak beraturan. Sekali merdeka, merdeka sekali! Begitu mungkin semboyannya. Saking merdekanya, seorang pencuri sandal harus mati mengenaskan, dipukuli warga di depan Universitas Putra Bangsa, Surabaya. Saking merdekanya, di suatu Gereja X, ada yang merasa berhak memukul pendeta karena berbeda pendapat. Mungkin benar kata orang-orang: Itulah Indonesia!

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Setiap kita pasti menginginkan perubahan. Bahkan, tanpa sadar, kita sendiri juga mengalami perubahan itu. Delapan tahun yang lalu, saya masih atletis. Rambut saya tebal. Sekarang berubah menjadi gemuk dan rambut mulai menipis. Yah… memang benar bahwa tiada yang tidak berubah. Yang penting untuk kita pertanyakan sekarang adalah: perubahan yang bagaimana dan ke arah mana?

Paulus, di dalam suratnya untuk jemaat di Roma, dengan gamblang memberikan jawaban atas dua pertanyaan di atas di dalam ayat 2. Yang pertama adalah: tidak menjadi serupa dengan dunia. Situasi dan kondisi dunia kita sudah sedikit saya uraikan di atas. Sama-sama mencari nafkah, seseorang bisa menjadi tukang sapu jalan tol, yang lain bisa jadi bandar narkotika dan obat terlarang. Sama-sama ingin mendapatkan hiburan, yang satu pergi menemui majelis atau pendeta untuk bercurhat, yang lain tenggelam dalam napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif). Menurut saudara, mana yang serupa dengan dunia, mana yang tidak?

Yang kedua – ini poin pentingnya – adalah: berubah! Perubahan adalah suatu proses. Ada situasi awal, kemudian ada proses yang terjadi, lalu ada hasil dari keseluruhan proses. Hasil akhir ini bermacam-macam. Ada yang sama dengan situasi awal, ada juga yang sama sekali berbeda. Misal, ada seorang pencopet yang tertangkap. Kemudian dimasukkan ke dalam lembaga pemasyarakatan. Ketika keluar, dia bisa jadi orang baik-baik, atau bisa juga jadi perampok. Dia mengalami perubahan juga, tetapi yang mana?

Ayat 2 dengan gamblang menjelaskan bahwa perubahan itu harus didasari oleh pembaharuan budi. Tidak asal berubah, melainkan berubah menurut pembaharuan budi! Secara sederhana, bisa dikatakan berubah menjadi lebih baik. Parameternya: dapat membedakan mana kehendak Allah dan mana yang bukan. Kehendak Allah itu yang bagaimana? Dijelaskan secara sederhana dalam ayat tersebut, yaitu apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Kalau kembali pada kisah pencopet tadi, pasti saudara bisa dengan gampang menunjuk mana yang berubah menurut pembaharuan budi.

Lebih dalam lagi, kalau kita cermati keseluruhan perikop, kita akan menemukan bahwa semuanya itu diletakkan dalam kerangka bagaimana manusia merespon anugerah Tuhan. Respon atau jawaban tersebut diwujudkan dalam bentuk mempersembahkan hidup sebagai ibadah yang sejati. Mempersembahkan hidup sebagai persembahan dan ibadah sejati mengandaikan penghargaan akan hidup itu sendiri. Orang bisa menghargai hidupnya bila ia telah mengubah paradigma atau cara pandangnya, misalnya, hidup bukanlah suatu masalah untuk dipecahkan, melainkan rangkaian anugerah yang sudah sepatutnya disyukuri. Dari hal ini, kita bertemu lagi dengan yang namanya: perubahan.

Sekarang, kita kembali melihat diri kita sendiri. Tanpa terasa, hampir enam tahun kita mandiri. Perubahan, pasti sudah terjadi. Pertanyaannya adalah, sudah sejauh mana kita berubah? Ke arah mana gerangan perubahan itu terjadi? Atau malah belum sejauh itu. Jangan-jangan kita malah anti terhadap perubahan. Kita sudah merasa mapan, walau sebenarnya sedang terombang-ambing di dalam ketidakmapanan. Atau, dengan kencang meneriakkan perubahan, tetapi dia sendiri tidak berubah. Bisa juga, ia sangat mengharapkan situasi dunianya berubah, namun ia tidak melakukan apa-apa. Dalam hal ini kita bisa belajar dari Mahatma Gandhi. Judul renungan di atas sebenarnya merupakan satu ungkapan penting dari Gandhi. ”Be the change you wish to see in the world.” Berubahlah sejalan dengan perubahan yang kamu harapkan, begitu kira-kira terjemahan bebasnya. Artinya, sebelum menuntut orang lain berubah, kita harus berubah terlebih dahulu. Singkatnya: menjadi agen perubahan.

Tidak hanya Gandhi. Satu semboyan reformasi yang cukup terkebal adalah “eclesia reformata quia simper reformanda.” Gereja pembaharu haruslah selalu memperbaharui diri. Sangat menarik, sebab yang terjadi justru sebaliknya. Banyak gereja yang mengaku beraliran reformasi, namun malah enggan berubah, bahkan anti perubahan! “Pathok bangkrong,” begitu istilah orang Jawa. Padahal sejarah dunia sudah membuktikan bahwa yang anti terhadap perubahan akan tergilas zaman. Saudara-saudara pasti tahu kenapa Sekarang tidak ada lagi Pterodactyl, Tyranosaurs-rex, atau Triceratops dan Brontosaurs. Selain disebabkan adanya bencana alam, yang memunahkan, juga karena mereka berevolusi, berubah menyesuaikan diri dengan kondisi alam dan lingkungannya. Dari perubahan itu, muncullah spesies baru.

Kembali pada pembicaraan tentang gereja kita. Dalam tataran yang lebih luas, jajaran Gereja-gereja Kristen Jawa juga tengah mengalami perubahan. Misal, pada tahun 2005 diterbitkannya revisi Pokok-Pokok Ajaran GKJ, Tata Gereja, Tata Laksana, serta Pertelaan. Dalam proses revisi tersebut, muncul pemikiran-pemikiran baru yang menghembuskan angin perubahan, seperti mulai dipercakapkan dan dikaji Perjamuan Kudus untuk anak. Yang sudah tertuang dalam Tata Laksana; pergantian istilah dari “Pengakuan Dosa” diubah menjadi “Penerimaan Pertobatan.” Dulu siapa yang dilayani pertobatannya harus diumumkan sekali dalam warta gereja, sekarang tidak perlu lagi diwartakan. Pendek kata, mau tidak mau perubahan itu memang harus terjadi, seiring dengan kedalaman dan kedewasaan bergereja.

Bagaimana dengan kita? Apakah paradigma dan pola pikir kita akan tetap sama; tidak mau berubah menjadi lebih baik? Atau, kita boleh bersikap kritis, apakah perubahan yang kita lakukan sudah menuju ke arah yang lebih baik? Atau, jangan-jangan, semuanya itu hanya slogan semata, untuk mempermanis penampilan kita, namun justru kita sendiri tidak melakukan apa-apa, bahkan membenci orang yang mau berubah menjadi lebih baik. Satu hal yang pasti: berubahlah oleh pembaharuan budimu! Amin.


Nur Ilahi terpancar abadi, menerawang sukma, menebar asa...
Pdt. Didik Christian Adi Cahyono.


_____________________
[1] Salah satu kata mutiara Mahatma Gandhi. Tulisan ini ditulis untuk Buku Pelayanan Jemaat GKJ Gandaria 2006.

LEBIH DARI YANG BIASA

Yohanes 14:15-27
Kisah Para Rasul 2:41-47

Jika kepada kita ditanyakan, apakah kita sudah menerima karunia Roh Kudus, saya yakin, pasti kita semua akan menjawab sudah! Secara legal-formal, dalam diri setiap orang Kristen Roh Kudus ada. Saya berani mengatakan fakta itu adalah hal bisa! Karena memang benar Roh Kudus, akan diam dalam setiap orang, seperti janji Yesus (Yoh 14:15-17). Lalu apa yang luar biasa? Apa yang lebih dari yang biasa?

Ini jawabnya! Ketika orang mau membuka diri terhadap karya Roh Kudus. Ia mau membiarkan dan merelakan dirinya dipimpin oleh kuasa Roh Kudus. Bukan lagi ”aku” yang berkuasa dalam dirinya, melainkan Roh Kudus yang berkehendak dan memerintah dalam hidupnya. Penyerahan diri pada pimpinan Roh Kudus itu nampak dalam hal-hal yang sungguh amat nyata: adanya perubahan kualitas hidup menjadi lebih baik!

Kita bisa melihat dan mencermati pola kehidupan jemaat mula-mula (Kis 2:41-47). Mereka tumbuh karena pengajaran dari para rasul yang mau membiarkan dirinya dipimpin oleh Roh Kudus sehingga memiliki keberanian. Mereka mau membuka diri terhadap karya Roh Kudus yang ditandai dengan baptisan. Mereka meninggalkan perikehidupan lama mereka dan menyekutukan dirinya menjadi satu komunitas baru. Dan yang menarik, komunitas baru ini memiliki ciri khas yang sangat mengesankan. Ada kesehatian, kebersamaan, senasib sepenanggungan. Saling menganggap orang lain berharga. Ada sukacita. Ada ketulusan. Semuanya dilakukan demi mewujudkan kehidupan bersama yang lebih baik.

Kita adalah komunitas orang yang percaya bahwa Roh Kudus telah turun ke atas kita. Sekarang pertanyaannya adalah apakah kualitas hidup kita sudah berubah menjadi lebih baik, atau masih biasa-biasa saja? Amin.

REKAN SEKERJA ALLAH

Salah satu identitas keluarga Kristen adalah sebagai komunitas cinta kasih. Karena cinta kasih, Allah menanamkan benih cinta pada dua sejoli yang hatinya bertaut. Karena cinta kasih, Allah meneguhkan dan memberkati ikatan cinta itu. Sang buah hati pun lahir karena cinta kasih. Bahkan saat meninggal pun, cinta kasih itu tetap mengiringi kepergian manusia.

Kalau melihat dari angle yang lebih luas, kita juga akan menemukan bahwa segala sesuatu yang tercipta di dunia adalah wujud dari cinta kasih. Allah sumbernya. Tidak tanggung-tanggung, Ia merelakan dirinya mewujud dalam sosok manusia hina hanya untuk membuktikan kekuatan cinta kasih itu. Hubungan Allah dan manusia yang rusak sejak kisah pelanggaran Adam dan Hawa dipulihkan begitu saja. Mungkin betul syair lagu yang dipopulerkan oleh Joy Tobing, “…semua karena cinta…”

Saat ini kita memasuki Masa Penghayatan Hidup Berkeluarga (MPHB). Sungguh, ini hal yang membahagiakan. Betapa tidak, kita diingatkan kembali akan makna dari sebuah ikatan mulia. Ikatan cinta kasih, yang adalah dasar bagi keluarga. Kita berbahagia, karena Allah meletakkan dasar dari semua karyaNya di dalam diri kita dan orang-orang yang mencintai dan kita cintai, - cinta kasih.

Setelah kita disadarkan akan hakikat keluarga, kini kita dipanggil untuk meneruskan pada tahap selanjutnya. Atas dasar cinta kasih yang kita hayati, kita dipanggil untuk ikut serta dalam karya pemulihan martabat manusia. Tidak akan ada pemulihan tanpa cinta kasih. Jadi, kita sudah punya modal untuk menjadi rekan sekerja Allah dalam karya pemulihan martabat manusia. Berbahagialah!

“La vita é bella…”

TERIMALAH ROH KUDUS

Kis. 2:1-21, Mz 145:1-13, 1 Korintus 12:3-13, Yohanes 20:19-23

Babak akhir pelayanan Yesus di dunia telah tiba. Kematiannya yang begitu tragis mengguncang kehidupan para muridNya. Kini Ia kembali memulihkan keberadaan murid-murid yang masih dilanda ketakutan dan kekalutan itu. Tidak hanya memulihkan, Yesus juga memberikan sesuatu yang lain. Dalam Yoh 20:22, diceritakan bahwa Yesus mengembusi mereka dengan Roh Kudus.

Secara naratif, kisah bagaimana para murid menerima Roh Kudus dalam Injil Yohanes berbeda dengan pemaparan kisah yang sama di dalam Kisah Para Rasul. Hal ini tentu terkait dengan karakteristik Injil Yohanes, yang menggambarkan Yesus sebagai sosok “dari atas,” dengan uraian filosofisnya seperti dalam pembukaan Injil ini. Perpisahan yang dilakukan Yesus pun tidak sedramatik Injil lain, yang mengisahkan Yesus naik ke sorga, dengan iringan tatapan takjub para murid. Akhir Injil Yohanes berbeda dengan Injil sinoptis lainnya.

Menarik juga untuk dicermati bagaimana Yesus memberikan tongkat estafet pelayananNya di dunia. Dalam Kisah Para Rasul, Yesus meneguhkan dan menjanjikan “sosok” lain sebagai pengganti diriNya. Hal itu digenapi setelah Ia naik ke sorga. Dalam Yohanes, digambarkan bahwa Yesus sendiri yang secara langsung mengembusi para murid dengan Roh Kudus.

Meski demikian, dua narasi yang berbeda itu bermuara pada satu tema yang sama: pengutusan. Baik Narasi dalam Kisah Para Rasul maupun Yohanes, keduanya memberikan gambaran tentang apa yang harus dilakukan oleh murid-muridNya. Yesus mengutus para murid untuk menjadi saksiNya. Secara spesifik, dalam Injil Yohanes, Yesus memberikan wewenang bagi para murid. (Yoh 20:23) Bila dikaitkan dengan tema MPDK tahun ini, nampak jelas bahwa Yesus menghendaki para murid meneruskan pemulihan relasi yang telah Ia lakukan. Murid-murid menerima Roh Kudus untuk melaksanakan tanggungjawab yang besar; meneruskan karya Yesus.

Kalau saat ini kita kembali merayakan Pentakosta, hari turunnya Roh Kudus, maka kepada kitalah Roh Kudus itu dihembuskan, dan kepada kitalah tanggungjawab untuk meneruskan karya Yesus itu diberikan. Amin.

“From great power, comes great responsibility”

JADILAH KEHENDAKMU[1]


Prawacana


Sebelum berbicara mengenai tema pesan abadi dalam Kitab Suci, ada dua hal yang menurut hemat saya perlu kita cermati. Pertama, adanya unsur subjektifitas. Hal ini bergantung sepenuhnya dari intensitas interaksi antara subjek (baca: pribadi) dengan teks Kitab Suci. Belum lagi kalau kita kemudian melihat dari teks Kitab Suci yang lain (baca: agama lain). Kedua, kesadaran akan adanya subjektifitas inilah yang justru menarik, karena kita akan mengalami perjumpaan dari subjek-subjek yang lain yang masing-masing membawa subjektifitasnya. Perjumpaan inilah yang membawa pada kesadaan dan pemahaman pada kehendak-Nya.

Dari Sebentuk Doa

Matius 6:9-13
6:9 Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu,
6:10 datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.
6:11 Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya
6:12 dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;
6:13 dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. [Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.]


Kalimat-kalimat di atas kita kenal dengan sebutan Doa Bapa Kami. Doa yang diajarkan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya ini sangat berkaitan erat dengan pokok pewartaan Yesus, yaitu Kerajaan Allah. Dengan kata lain, di dalam doa inilah terungkap visi dan misi Yesus di dunia. Seperti yang tetulis dalam ayat 10 dikatakan …”datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu dibumi seperti di sorga.”

Kedatangan Yesus ke dunia adalah dalam rangka mewujudkan visi dan misinya, yaitu mendatangkan Kerajaan Allah (sering juga disebut sebagai Kerajaan Sorga) sehingga kehendak Allah terjadi di bumi seperti di sorga. Kerajaan Allah yang dimaksudkan bukan suatu nasion yang ditandai dengan teritorial tertentu, bukan kompetisi keagamaan yang berebut pengaruh. Kerajaan Allah adalah proses. Dipahami sebagai situasi yang sedang terjadi saat ini. The Reign of God is something that happens. Kerajaan Allah bukanlah suatu makna yang simple dan statis, melainkan suatu konsep yang dinamis. Kerajaan Allah adalah ketika kasih berada dan menjiwai hati setiap orang, ketika kemenangan keadilan mengalahkan ketidakadilan dari suatu komunitas kemanusiaan. Kerajaan Allah adalah ketika kuasa Allah memberdayakan kita untuk berani hidup di tengah situasi dan keadaan yang penuh dengan kesengsaraan dan penderitaan.[2] Kerajaan Allah adalah ketika yang lapar dikenyangkan, ketika yang sedih digembirakan sehingga terhibur, ketika yang putus asa beroleh harapan. Ketika semuanya terwujud, maka saat itulah Kerajaan Allah menjadi nyata, kehendak Allah terjadi di bumi seperti di sorga. Dengan bahasa yang lebih sederhana, Kerajaan Allah adalah ketika damai sejahtera dirasakan secara konkret.

Di dalam doa yang terlihat sederhana itu, Yesus hendak menunjukkan bahwa, tidak ada yang lebih utama selain mewujudkan kehendak Tuhan di dalam hidup-Nya, di dalam seluruh pelayanan yang Dia lakukan. Dalam kerangka ini kita bisa memahami bahwa semua yang dilakukan Yesus, baik mujizat, pengajaran, bahkan sampai kematian-Nya adalah upaya untuk merealisasikan visi dan misi-Nya tersebut. Contoh sederhana dari hal di atas seperti terdapat dalam Matius 25:40 ... “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Dalam ayat ini terkandung pemahaman bahwa mengenai bagaimana kita memandang relasi dengan orang lain, tentang bagaimana kita bersikap dalam menghadapi ketidakadilan, kemiskinan yang menimpa saudara kita. Dan yang lebih dalam lagi adalah bagaimana mewujudkan kehendak Allah di dalam hidup kita.

Contoh yang lain, misalnya dalam Matius 13:31-33
13:31 Yesus membentangkan suatu perumpamaan lain lagi kepada mereka, kata-Nya: "Hal Kerajaan Sorga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya.
13:32 Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar dari pada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya."
13:33 Dan Ia menceriterakan perumpamaan ini juga kepada mereka: "Hal Kerajaan Sorga itu seumpama ragi yang diambil seorang perempuan dan diadukkan ke dalam tepung terigu tiga sukat sampai khamir seluruhnya."

Yesus memakai biji sesawi dan ragi untuk menggambarkan konsep tentang Kerajaan Sorga, ini menunjukkan bahwa sebenarnya, untuk mewujudkan kehendak Allah di dalam hidup kita, , kita bisa memulai dengan hal-hal yang kecil dan sederhana, Salah satu contoh, saya mengutip sajak yang ditulis oleh Kim Chi Ha, penyair Kristen dari Korea:[3]

Sorga adalah nasi
Karena kita tidak dapat pergi ke sorga sendirian
Kita harus bersama-sama membagi beras
Karena semua memperoleh terang bintang-bintang di langit
Kita harus membagi dan makan nasi bersama
Sorga adalah nasi
Kalau kita makan dan menelan nasi
Sorga tinggal di dalam tubuh kita
Nasi adalah sorga
Ya, nasi adalah soal pokok
Kita harus makan bersama


Contoh lain. Huruf Cina untuk kata damai adalah “wa.” Huruf “wa” ini terdiri dari dua kata “padi” dan “mulut.” Jadi damai berarti menyalurkan padi atau makanan kepada sesama atau berarti juga keadilan. Dalam arti sederhana, damai sejahtera adalah ketika mulut terisi nasi.

Menjadi Motivasi Hidup

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa bait doa yang diajarkan Yesus tidak hanya sebuah bait doa biasa, melainkan di situlah terungkap apa yang Tuhan kehendaki bagi umat-Nya; mewujudkan kehendak Tuhan, damai sejahtera di bumi seperti di sorga. Tugas kita sekarang adalah terus menggemakan dan memperjuangkan agar Kerajaan Allah datang dan kehendak-Nya terwujud, sehingga damai sejahtera sungguh-sungguh dirasakan secara konkret dan real bagi semua orang.

Pray for the peace of humanity
dcac





_____________________
[1] Disampaikan dalam Diskusi Antar Iman “Pesan Abadi Tuhan dalam Teks-teks Suci Agama” diselenggarakan oleh Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) 4 April 2009.
[2] C. S. Song, Jesus and the Rign of God. Minneapolis: Fortress Press, 1993.
[3] Masao Takenaka, Nasi dan Allah. Jakarta : Gunung Mulia. 1996.