31 Januari 2009

Berbagi "Rumah" dengan Yang Lain


Mengerikan. Satu kata yang saya pakai untuk menggambarkan relasi antar agama, khususnya Islam-Kristen sepanjang sejarah peradaban manusia. Terkesan terlalu bombastis memang. Namun, bila kita sejenak menengok perjalanan sejarah persinggungan antara kedua agama Abraham ini, kita akan menemukan tetesan-tetesan darah, gumpalan amarah, bahkan dendam berkepanjangan. Wajarlah jika kemudian terasa ada tembok yang membatasi keduanya. Keengganan muncul untuk berbagi sapa, bahkan kalaupun terjadi perjumpaan, tatap curiga selalu terasa.

Ironis, karena betapapun dalamnya luka masa lalu itu, kita toh hidup dalam rumah yang sama. Paradoks pun terjadi. Di satu sisi, kita harus bersama-sama memelihara dan merawat rumah itu, namun di sisi lain luka lama itu membuat ketidaknyamanan suasana sehingga enggan bertegur sapa. Padahal tugas kita tidak hanya untuk merawat dan menjaga rumah, melainkan harus membuat salam dirasakan dan terpancar keluar. Satu lagi ironi muncul. Ada panggilan bersama yang seharusnya bisa dijadikan dasar untuk berbagi, namun karena begitu dalam luka yang tertoreh, bukan uluran tangan dan sapaan menyejukkan yang terbagi, melainkan ketakutan dan kemarahan yang akhirnya membuat tembok pembatas itu semakin tebal dan tinggi. Rumah yang seharusnya menjadi tempat bernaung yang tenteram kini terkotak-kotak oleh tembok-tembok prasangka, dendam dan angkara. Terkadang muncul usikan yang membuat ketidaknyamanan, bahkan satu dengan yang lain berniat untuk mengusir keluar dari rumah. Semua itu bermuara pada upaya hegemonisasi satu dengan yang lain.

Ada upaya untuk membongkar tembok primordialisme ini. Mulai dengan upaya untuk membangun pemahaman, sampai komitmen untuk duduk bersama dalam dialog yang sehat. Ini mensyaratkan adanya keinginan untuk mencoba mengerti arti kehadiran masing-masing dalam rumah itu. Tetapi, ini pun belum mencukupi, selama masih ada hasrat untuk menaklukkan satu dengan yang lain. Perjumpaan dan dialog yang terjadi pun dimanipulasi untuk mencari kelemahan satu dengan yang lain. Selamanya akan terus begitu jika keakuan masih menjadi tolok ukur.

Sejarah mencatat rangkaian peristiwa tragis ketika ”aku” menjadi sebuah totalitas yang selalu meniadakan ruang, bahkan menaklukkan “yang lain.” Relasi yang terbangun antara “aku” dengan “yang lain” adalah relasi I – It (aku – benda). Akibatnya, muncul subordinasi, bahkan penaklukkan satu dengan yang lain. Karenanya Kita ingat bagaimana totalitas “aku” yang termanifestasikan dalam faham fasisme Nazi yang mencoba menaklukkan kaum Yahudi sebagai “yang lain.” Kita patut berterima kasih kepada pemikiran Emmanuel Levinas yang mencoba mengkritisi totalitas “aku” dan mengangkat “yang lain.” “Yang lain” adalah suatu entitas di luar “aku.” Jika selama ini relasi antara “aku” dengan “yang lain” adalah penaklukan “yang lain” oleh “aku,” maka dibutuhkan adanya pengakuan akan keberadaan “yang lain” agar relasi yang terbangun menjadi seimbang. “Yang lain” adalah suatu entitas di luar “aku” yang bisa hidup bersama, bukan sebagai sosok untuk ditaklukkan dalam totalitas “aku.” Pengakuan dan penghargaan akan keberadaan “yang lain” akan mengubah relasi yang semula I – It, menjadi I – Thou (aku – engkau), seperti pergumulan Martin Buber.

Kita kembali ke dalam rumah yang telah terkotak-kotak oleh pemahaman sempit penghuninya yang secara historis masih bersaudara. Kesadaran untuk mengakui dan menghargai keberadaan entitas di luar dirinya menjadi unsur penting sebelum memulai untuk berdialog. Dialog bukan sebagai wahana apologetika yang bertujuan untuk saling menaklukkan, saling menganggap dirinya sebagai totalitas “aku” dan meniadakan “yang lain,” melainkan sebagai kesempatan untuk menyapa Thou – bukan It – satu dengan yang lain. Dengan cara ini, kita bisa mulai meruntuhkan dinding keangkuhan yang membuat tidak nyaman rumah yang kita tinggali. Mungkin masih ada sekat yang membedakan dan memisahkan, karena masing-masing memiliki ruang yang berbeda dan memang memiliki perbedaan dan keunikan. Masing-masing adalah “yang lain” bagi masing-masing, entitas di luar “aku” yang berdiri sendiri dan bukan sebagai bagian dari “aku” yang harus ditaklukkan.

Dari pemahaman di atas, kita bisa mulai menyadari bahwa ternyata di dalam rumah kita ada orang lain yang hidup bersama dengan kita. Ada perbedaan, Namun perbedaan itu tidak berarti meniadakan perjumpaan, melainkan justru karena ada perbedaan itulah dialog bisa dilakukan. Hal ini akan membawa kita pada kesadaran dan penghayatan bahwa kita tinggal di rumah yang sama, di bumi yang sama, di bawah langit yang sama. Karenanya, kita harus berbagi. Ya... Berbagi rumah dengan yang lain demi memenuhi panggilan kita bersama, mewujudkan rahmatan lil alamin, damai sejahtera bagi semua ciptaan.

30 Januari 2009

Menjadi Seperti yang Kau Minta




"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”
(Matius 7:12)

Satu pertanyaan klasik yang selalu saya tanyakan ketika mendampingi Majelis dalam proses pendadaran manten di GKJ Gandaria adalah : “Mengapa anda ingin menikah?” Jawabannya sangat beragam; ada yang ingin mendapat kepastian status, ada yang ingin memiliki keturunan, ada yang ingin mendapatkan teman hidup, ada yang ingin hidup bersama dengan orang yang dicintainya, ada yang menjawab karena memang sudah saatnya untuk menikah, bahkan ada yang ingin menikah agar hidupnya bisa lebih teratur dan lebih baik. Pertanyaan di atas tidak hanya saya ajukan pada salah satu calon manten, melainkan kedua-duanya, laki-laki dan perempuan. Sederhana memang pertanyaan itu, tetapi dari deretan jawaban di atas, nampak jelas adanya suatu harapan, baik harapan dari calon manten pria maupun calon manten perempuan. Namun, selama lebih kurang hampir lima tahun saya melontarkan pertanyaan itu, seingat saya hanya ada satu pasang calon manten yang mengungkapkan jawaban yang berbeda. Calon manten pria menjawab: “Saya ingin menjadi suami yang baik,” sedangkan calon manten perempuan mengungkapkan: “Saya ingin menjadi istri yang baik.”

Tidak ada yang salah dari semua jawaban yang diungkapkan, tetapi saya ajak sekarang untuk mencermati deretan jawaban itu. Kelompok jawaban yang pertama terlihat bahwa harapannya adalah mendapatkan sesuatu dari orang lain, sedangkan jawaban yang terakhir lebih pada keinginan untuk melakukan sesuatu bagi orang lain. Sudah bisa membedakan...? Kalau belum, saya perdalam lagi. Kelompok yang pertama mengungkapkan bahwa dengan menikah, ia akan “mendapatkan” sesuatu dari pasangannya, sedang kelompok kedua kita menemukan ungkapan bahwa dengan menikah ia akan “memberikan” sesuatu bagi pasangannya. Perbedaan ini menarik bahkan menyolok sekali, karena imbas dari harapan-harapan itu bisa sangat lain. Ketika kita mengharapkan sesuatu dari orang lain, mau tidak mau kita akan mengatakan dan meminta. Misalnya, ketika saya ingin memiliki istri yang baik, maka saya akan meminta calon istri saya untuk berlaku dan berbuat seperti harapan saya. Ini berbeda ketika saya ingin menjadi suami yang baik, maka saya akan berjuang dan berbuat apa pun demi membahagiakan istri saya.

Siapa diantara kita yang tidak ingin diperhatikan, disayang dan dicintai oleh pasangan kita, anak-anak kita, orang tua kita, keluarga kita? Semuanya pasti menginginkan hal itu. Persoalannya sekarang adalah bagaimana cara kita mendapatkan apa yang kita harapkan. Matius 7:12 mengungkapkan secara gamblang! Kita tentu pernah mendengar The Golden Rule-nya Confussius, yang menyatakan bahwa “jangan melakukan kepada orang lain apa yang kita tidak suka orang lain lakukan pada kita.” Hukum ini mengatur agar tidak terjadi kekacauan dan kekerasan dalam masyarakat. Namun, hukum ini bersifat preventif. Oleh Yesus, hukum ini dibaharui dengan menambahkan unsur proaktif. Tidak menunggu melainkan memulai terlebih dahulu. Ketika kita ingin disayang dan dicintai, mulailah dari diri kita terlebih dahulu untuk menyayangi dan mencintai. Ketika kita ingin orang lain berbuat baik kepada kita, mulailah untuk terlebih dahulu berbuat baik kepadanya. Bayangkan, betapa indah dan membahagiakan ketika di dalam keluarga masing-masing anggotanya saling berlomba untuk menjadi yang pertama dalam hal melayani, memperhatikan, menyayangi, dll. Dengan tanpa disengaja, semua kan mendapatkan apa yang diharapkan. Jadi, mulailah hari ini dengan melakukan apa yang kita senang orang lakukan pada kita, menjadi yang terbaik bagi orang lain. Amin.

Aku tahu ku takkan bisa menjadi s’perti yang engkau minta,
namun selama nafas berhembus aku kan mencoba,
menjadi s’perti yang kau minta…
(S’perti Yang Kau Minta - Chrisye)


Kirana asa dalam titian kembara,
dchristac

Mempertanggungjawabkan Berkat

Matius 25:14-30


Kalau hanya disebut “talenta” saja, mungkin kita tidak begitu merasakan besarnya. Coba Sekarang kita coba talenta itu dikonversi ke dalam rupiah. Talenta Ukuran timbangan sebesar 3000 syikal = kurang lebih 34 kilogram. Dalam Perjanjian Baru ukuran jumlah uang yang sangat besar nilainya, yaitu 6000 dinar. Dinar adalah Mata uang Romawi. Satu dinar ialah upah pekerja harian dalam satu hari. Misalkan upah buruh harian di DKI sebesar Rp. 25.000,- maka satu talenta = Rp. 150.000.000,- Jumlah yang tidak sedikit bukan?

Sayangnya, uang sejumlah itu disia-siakan, karena hanya disembunyikan di dalam tanah oleh si hamba. Ia tidak menjalankan uang itu karena merasa iri terhadap hamba-hamba lain yang diberi lebih dari dirinya. Padahal, sang tuan sama sekali tidak memperhitungkan berapa uang yang menjadi hasil dari usaha hamba-hamba itu. Buktinya, baik kepada hamba yang diberi lima talenta dengan hamba yang diberi dua talenta, sang tuan memberikan pujian yang sama (lihat ayat 21 dan 23). Ini menunjukkan bahwa sang tuan tidak memprioritaskan hasil, melainkan bagaimana proses si hamba mengusahakan talenta yang diberikan kepadanya. Bukan masalah besarnya telenta, tetapi bagaimana mengusahakan dan mempertanggungjawabkan talenta pemberian itu.

Kalau kita sampai saat ini masih merasa iri, mengapa orang lain terlihat lebih berhasil daripada kita, maka status kita sama seperti hamba yang dimodali satu talenta, yang menyia-nyiakan modal yang sebenarnya cukup besar. Sekarang cobalah merenung sejenak; apa yang ada di dalam hidup kita yang bukan merupakan pemberian dari Tuhan? Tidak ada satu pun, bukan? Nha… daripada meributkan kenapa bagian orang lain lebih baik ketimbang bagian saya, atau hidup orang lain terlihat lebih indah daripada hidup kita, lebih baik mulai untuk mengolah, mengusahakan dan mempertanggungjawabkan segala pemberian Tuhan itu kepadaNya. Itu berarti mengolah, mengusahakan dan menghidupi hidup kita serta mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan.

28 Januari 2009

A Prayer for Peace

A FRANCISCAN BENEDICTION

May God bless you with Discomfort
at Easy Answers, Half-Truths, and Superficial Relationships
so that you may live Deep Within Your Heart.
May God bless you with Anger
at Injustice, Oppression, and Exploitation of People
so that you may work for Justice, Freedom, and Peace.
May God bless you with Tears . . .
to shed for those who suffer from Pain, Rejection, Starvation, and War,
so that you may reach out Your Hand to Comfort them
and to turn their Pain into Joy.
And may God bless you with enough foolishness . . .
to Believe that You can Make a Difference in this World,
so that You can Do
what others claim cannot be Done.
Amen


A FRANCISCAN BENEDICTION
(Berkat-Penutup model Fransiskan)


Kiranya Allah mengaruniai kamu: Ketidaknyamanan
atas jawab serampangan, setengah-benar, dan relasi basa-basi
sehingga kamu boleh hidup dengan hati nurani kamu.
Kiranya Allah mengaruniai kamu: Kemarahan
atas Ketidakadilan, Penindasan, dan Eksploatasi atas Manusia
sehingga kamu berjuang untuk Keadilan, Kemerdekaan, dan Perdamaian.
Kiranya Allah mengaruniai kamu: Air Mata . . .
untuk memberi perlidungan kepada yang menderita karena
penyakit, penolakan, kelaparan, dan peperangan,
sehingga kamu dapat mengulurkan tangan kamu untuk meringankan mereka
dan mengubah Derita mereka menjadi Sukacita.
Dan kiranya Allah mengaruniai kamu dengan ‘kebodohan’ secukupnya . . .
untuk memiliki keyakan bahwa kamu dapat membuat perubahan di Dunia ini,
sehingga kamu dapat melakukan
apa yang diklaim orang lain: tak mungkin dilakukan.
Amin





Delivered by Dr. Robert A. Evans, at the closing of his lecture in STT Jakarta, September 8, 2004, 19.00-21.00. Moderator and translator: Dr. Kadarmanto Hardjowasito. The lecture entitled “Peace Building in the World of Terror: An Ecumenical Perspective on Reconciliation” and part of a series of the 70th STT Jakarta Anniversary Lectures.


A Hymn of Peace



Pray for the Peace of Humanity
Sebuah lagu ciptaan Ibu Gedong Bagus Oka yang selalu dinyanyikan dalam setiap workshop pemberdayaan rekonsiliasi menandai bahwa damai tidak bisa lahir sendiri. Damai membutuhkan hati dan nurani yang jernih untuk memulai sebuah proses. Damai membutuhkan mata untuk melihat dengan cermat dan teliti. Damai membutuhkan pikiran jernih untuk menganalisa. Damai membutuhkan tangan untuk menata. Damai membutuhkan kaki untuk mulai beranjak meninggalkan luka dan dendam. Damai membutuhkan kesadaran untuk mengubah paradigma. Damai membuthkan pribadi-pribadi yang merelakan dirinya untuk berkorban. Damai membutuhkan daya manusia untuk terus berjuang mewujudkannya. Damai membutuhkan doa agar semua manusia tergerak untuk menghidupinya.


Pray for the peace of humanity

Pray for the peace of humanity

Pray for the peace of humanity

Humanity shall live in peace

Shalom

Salam

Shanti

Sadhu

Sanchai

Sukitata

Humanity shall live in peace


Make yourself to be availabe for peace of humanity