21 Oktober 2009

HENDAKLAH TERANGMU BERCAHAYA



Matius 5:13-16, 6:22-23

Mengapa orang selalu menyalakan lampu, entah itu lilin, senthir, teplok, pelita, dian, pandam, dan berbagai sebutan yang lain, pada waktu malam? Sederhana jawabnya. Karena kalau dinyalakan siang hari, terang yang terpancar tidak bisa dirasakan, kalah dengan terang yang terpancar dari matahari. Di samping itu, orang baru merasa butuh penerangan kalau ia berada dalam kegelapan. Sekecil apa pun terang itu, pasti berguna bila ia berada di tengah kegelapan. Bahkan sepekat apa pun kegelapan itu.

Identitas yang diberikan Yesus pada murid-murid serta pengikutNya sederhana: “Kamu adalah terang dunia.” Konsekuensinya adalah kita harus bisa menunjukkan “terang” kita. Namun ketika kita melihat betapa pekat dan kelamnya kegelapan yang ada, ketakutan dan kebimbangan segera menyergap kita. Akhirnya, daripada mencoba untuk menunjukkan terang, kita malah menutupinya agar tidak terlihat menyolok bila ditengah kegelapan. Atau, kalau pun berani memancarkan terang, itu hanya terjadi di siang hari, serta bersama-sama dengan banyak terang yang lain. Takut berkorban, takut rugi, dan takut-takut yang lain menghinggapi perasaan kita.

Memang kita hidup di zaman yang aneh. Ketika orang justru lebih suka membeberkan keburukan orang lain daripada kebaikannya. Ketika orang lebih suka mencibir orang lain daripada membantunya. Ketika kejujuran dianggap sebagai sebuah kehancuran. Ketika suara nurani dibilang tidak tahu diri. Bahkan ketika orang takut menyatakan kebenaran, karena dunia kita sudah terbisa dengan yang tidak benar. Namun justru di tengah situasi seperti itulah sabda Yesus terasa kembali aktual. Bukankah lampu – apa pun macam dan jenisnya – harus dengan sekuat daya memberikan nyalanya agar terangnya bermanfaat. Seperti halnya garam yang harus larut terlebih dahulu agar masakan terasa sedap.

Yesus telah mengatakan bahwa kita adalah terang. Jadi bersinarlah!

KONSEKUENSI DARI SEBUAH KONSISTENSI


2 Samuel 6:1-5, 12b-19, Mazmur 24, Efesus 1:3-14, Markus 6:14-29

Maut menghampiri Yohanes Pembaptis melalui Herodes. Kepala Sang Pembuka Jalan itu harus terpisah dengan tubuhnya hanya karena Herodes mau mencoba konsisten dengan apa yang telah dijanjikannya kepada anak perempuan Herodias. Justru Herodiaslah yang sakit hati pada Yohanes ketika Herodes memperistrinya, walau ia sudah bersuamikan Filipus, saudara Herodes. Akhirnya kesempatan itu tiba. Herodes berjanji akan memberikan apa saja yang diminta anak perempuan Herodias, yang telah membuatnya terpana dengan tariannya. Melalui anaknya, Herodias meminta kepala Yohanes Pembaptis berada di talam. (Markus 6:25) Herodes konsisten dengan kata-katanya, walau sebenarnya hatinya sedih. Konsekuensi dari konsistensinya membuat seorang hamba Tuhan tewas.

Berbicara soal konsistensi, tentu kita tidak bisa tidak, kita harus juga berbicara tentang Yohanes Pembaptis. Sejak semula ia konsisten menjalani peran yang diberikan Tuhan padanya. Sebagai pembuka jalan bagi Yesus, ia melakukan dengan setia, walau mungkin dianggap aneh oleh orang sekitarnya. Keberaniannya untuk menyatakan kebenaran Allah tidak pandang bulu. Ia berani mengkritik penguasa yang berlaku salah – dalam hal ini Herodes. Konsekuensi dari konsistensi Yohanes adalah kematian yang mengerikan. Daud rela dipandang rendah oleh istrinya, Mikhal. Dalam prosesi pemindahan Tabut Perjanjian, ia menari dengan hanya memakai baju efod, baju lapisan luar dari jubah imam yang tidak menutupi seluruh tubuhnya. (2 Samuel 6:14-16) Ia konsisten menghormati Tuhan dan kesucian Tabut-Nya dengan menunjukkan kemurniannya hatinya dengan hanya memakai baju efod.

Pertanyaan yang harus kita pergumulkan dan jawab saat ini adalah: apakah kita konsisten dengan panggilan kita, sebagaimana dinyatakan dalam Efesus 1:4 “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.” Kita dipilih Tuhan agar kita hidup kudus dan tak bercacat dihadapan-Nya. Kalau kita konsisten dengan pemilihan itu, maka adalah hidup kita harus menyatakan kesucian dan kemurnian serta kekudusan Allah. Ini tidak mudah karena tawaran untuk hidup dalam noda dan ketidaksucian sangat menggoda. Bahkan bisa jadi, kita akan ditinggalkan oleh banyak orang jika kita konsisten menjalani panggilan dalam kesucian ini. Beranikah kita untuk tetap konsisten dan siap untuk menerima konsekuensinya? Amin.

|d|c|a|c|

SULIT, TETAPI MUNGKIN

Ayub 23:1-17; Mazmur 90:13-17; Ibrani 4:12-16; Markus 10:17-31

Walaupun pada akhirnya ia bisa menerima semua penderitaannya (pasal 42), Ayub sempat mengalami ketegangan dalam dirinya. Ia merasa bahwa semua yang terjadi atas dirinya adalah bukan karena kesalahannya. Bahkan ia sempat menyalahkan Tuhan (ayat 17). Tidak hanya sekali ia merasa benar. Kalau kita mencermati pasal 3, 10, 13 dan 31 kita akan menemukan bahwa Ayub terus merasa tidak bersalah dan membela diri atas semua yang terjadi. Ayub sulit untuk menerima kondisinya. Ia merasa menyesal telah dilahirkan dan hidup, namun pada akhirnya ia benar-benar merendahkan diri di hadapan Tuhan. Akhirnya Tuhan memulihkan keadaannya. Suatu perubahan yang luar biasa sulit, tetapi bisa dilakukan Ayub.

Sama halnya dengan kisah pengajaran Yesus mengenai betapa sulitnya orang kaya masuk dalam kerajaan Allah. Yesus bahkan memberi perbandingan lebih mudah onta melewati lobang jarum ketimbang orang kaya masuk kerajaan Allah (ayat 25). Hal ini terjadi karena umumnya orang akan lebih berat meninggalkan hartanya daripada meninggalkan yang lain (Mrk 10:22). Apakah memang tidak ada kemungkinan bagi orang kaya untuk masuk dalam kerajaan Allah? Masih mungkin! Asalkan dia bisa melepaskan kelekatan pada hartanya. Mungkin sedikit, atau bahkan sangat sulit. Sesulit onta yang melewati lobang jarum. Lobang jarum adalah pintu kecil yang ada di sekeliling tembok kota Yerusalem, sebagai sarana keluar masuk orang ketika pintu gerbang utama telah ditutup saat malam (istilah bahasa Jawa: “lawang butulan”). Besarnya biasanya hanya seukuran orang. Onta bisa melewatinya, namun dibutuhkan usaha keras, baik dari onta maupun pemiliknya. Memang sulit, tetapi mungkin untuk dilakukan.

Hari ini kita memasuki Masa Penghayatan Hidup Berkeluarga (MPHB). Tema MPHB tahun ini adalah “Keluarga Peduli Lingkungan.” Mungkin saat ini sebagai keluarga kita bisa saja merasa benar seperti Ayub. Kerusakan lingkungan, gundulnya hutan, banjir, pemanasan global bisa jadi memang bukan salah kita. Kita terlahir dan berada di bumi yang kondisinya sudah semakin kritis juga bukan salah kita. Akan tetapi apalah persoalannya akan usai kalau kita hanya sibuk membela diri dan merasa benar? Tidak! Kita harus berubah! Mengubah paradigma berpikir dan bahkan mengubah pola hidup kita agar kerusakan bumi bisa kita kurangi. Sulit? Bisa jadi sangat sulit! Apalagi kalau kita sudah terbiasa dengan pola hidup yang tidak ramah dengan lingkungan. Akan tetapi sesulit apa pun itu, masih dimungkinkan bagi kita untuk bertindak. Mari kita membangun optimisme untuk menyelamatkan bumi bagi anak cucu kita. Sulit, tetapi mungkin! Amin.

|d|c|a|c|

25 Juni 2009

MASIH ADAKAH...?

1 Raja-raja 17:7-16

Sering kita menemukan bahwa “kekurangan” bisa membuat orang lupa segala-galanya, menghalalkan segala cara, bahkan melakukan kejahatan. Cobalah tengok sejenak berbagai tayangan kriminal di televisi. Ada orang yang terpaksa mencuri karena butuh makan, terpaksa membunuh untuk mendapatkan uang atau bahkan terpaksa memperkosa karena tidak bisa menahan luapan syahwat. Berbagai situasi “kekurangan” membuat orang terpaksa melakukan, bahkan kadang yang diluar nalar sekalipun. Namun, apakah situasi kekurangan itu selalu bermuara pada kejahatan?

Kisah dramatis, yang kalau kita cermati, bisa menyentuh hati kita. Alkisah, bangsa Israel sedang dihukum Tuhan dengan kekeringan. Jangankan hujan, embun pun tidak akan membasahi tanah Israel. (17:1) Bahkan hukuman itu juga dirasakan Elia, nabi Allah yang taat. Ia sempat bertahan beberapa saat di Sungai Kerit, namun karena dahsyatnya kekeringan yang melanda, Sungai Kerit pun kerontang. Dalam situasi seperti itu, ia diperintahkan Tuhan untuk berjalan menuju Sarfat, wilayah Sidon, di bagian Utara Israel.

Elia kemudian berjalan menuju Sarfat. Setibanya di sana ia bertemu dengan seorang janda yang sedang mencari kayu bakar. Elia minta minum kepadanya. Belum juga permpuan tadi mengambil air minum, Elia menambahkan permintaannya. Ia meminta roti. (ay. 11) Ternyata sang janda tidak lebih baik dari Elia. Ia sedang mencari kayu bakar untuk memasak sisa tepung dan minyak persediaannya yang terakhir. Di sini suasana yang menggetarkan terjadi. Elia meminta si janda membuatkan roti baginya terlebih dahulu, baru kemudian ia membuat untuk anak dan dirinya sendiri. Aneh dan luar biasa! Jika biasanya orang menolak memberikan sesuatu dari keterbatasan miliknya, bahkan dengan dalih keterbatasan ia menghalalkan segala cara, si janda ini sungguh lain! Hanya berbekal pada janji yang disampaikan Elia bahwa minyak dan tepungnya tidak akan habis, sang janda merelakan adonan pertama dari rotinya untuk mengobati kelaparan Elia. Di tengah keterpurukan situasi karena kekeringan melanda. Di tengah keterbatasan persediaan makanan, janda Sarfat menunjukkan pelajaran yang sungguh amat berarti. Ia rela untuk berbagi makanan dengan Elia, seorang asing yang baru ditemuinya ketika ia mencari kayu bakar. Ia tulus menerima Elia dengan segala ketiadaannya. Ia memberikan justru pada saat ia membutuhkan. Inilah pemberian yang terbaik! Pemberian yang muncul bukan dari kelimpahan, melainkan berdasarkan kekurangan dan keterbatasannya.

Berbeda dengan situasi kita. Kekurangan dan keterbatasan sering kita pakai sebagai dalih untuk tidak berbuat baik. Bahkan, seperti fakta yang saya ungkapkan di atas, keterbatasan justru menjadi sebuah alasan untuk melegalkan tindakan kejahatan. Lebih dalam lagi. Ketulusan untuk memberikan yang sama dengan yang ia nikmati, ketulusan yang tanpa pamrih, tanpa menuntut balasan. Ia berbagi roti dengan Elia tanpa menuntut imbalan, bahkan sebelum ia tahu bahwa janji Elia akan terbukti. Yang sering terjadi, kita pasti akan menuntut serentetetan permintaan sebelum kita memberikan sesuatu. Atau, ketika memberikan, kita menuntut imbalan. Bisa juga, kita hanya sekedar memberikan. Yang penting memberikan, tak jadi soal apakah pemberian itu berkualitas atau tidak. Atau lebih parah lagi, pemberian itu tidak didasari atas rasa tulus dan kebulatan hati.

Kalau kemudian kita sejenak mencoba merenungkan hidup yang kita jalani. Bukankah segenap hidup kita adalah pemberian dariNya? Tetapi apa jawab kita ketika Ia meminta kita memberikan sesuatu bagiNya? Adakah ketulusan itu menjadi jawaban? Atau keterbatasan menjadi dalih kita? Atau bahkan justru kita balik menuntut imbalan atas perintah dan kehendakNya bagi kita? Mungkin kita harus berbesar hati untuk mengakui iman kita tidak sebesar janda Sarfat, karena selama ini kita hanya menyisihkan sisa-sisa dari kita sebagai pemberian, bahkan kepada Tuhan. Kita baru bisa memberikan sisa waktu kita, sisa tenaga kita, sisa pikiran kita, sisa uang kita, bahkan sisa hidup kita. Jangankan untuk orang lain, lha wong untuk Tuhan saja kita bisa berbuat begitu.

Mari kita bercermin dan bertanya: masih adakah ketulusan itu? Mari kita jawab bersama dengan karsa dan karya. Amin.

WIND OF CHANGE[1]


Roma 12:1-2


Masihkah saudara mengingat tulisan di Buku Realisasi Program dan Anggaran Gereja GKJ Gandaria tahun 2005-2006? Kalau sudah lupa, saya sedikit mengingatkan. Tulisan tersebut terinspirasi dari pemikiran Mahatma Gandhi, Be The Change You Wish To Se In The World, yang didasarkan pada surat Paulus kepada jemaat di kota Roma. Intinya adalah tentang perubahan dan bagaimana harus berubah. Tulisan ini sebetulnya adalah kelanjutan dari tulisan di atas; tetap berbicara mengenai perubahan.

Berbicara mengenai perubahan, tiba-tiba saya teringat sebuah lagu yang ditulis dan dipopulerkan oleh grup musik rock asal Jerman, Scorpions, yang judulnya menjadi judul tulisan ini. Dalam refreinnya, dituliskan: “take me to the magic of the moment on a glory night, when the children of tomorrow dream away, in the wind of change…” Dalam terjemahan bebasnya, kira-kira mengisahkan sebuah kerinduan mengenai angin yang membawa perubahan yang lebih baik. Berubah menjadi lebih baik, itu kata kuncinya!

Seperti juga yang disampaikan oleh Paulus dalam suratnya – seperti yang tertulis di atas – perubahan ke arah yang lebih baik menjadi sebuah keharusan dalam kehidupan jemaat Kristen. Berubah untuk menjadi tidak serupa dengan dunia, berubah oleh pembaruan budi, sehingga dapat membedakan mana yang menjadi kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Dan yang lebih menarik lagi, hasil perubahan itu bukan untuk siapa-siapa, melainkah kembali untuk Tuhan di dalam wujud persembahan sejati demi kemuliaan namaNya (ayat 1-2).

Dari pemahaman di atas, kita bisa menemukan pembelajaran bahwa: pertama, hidup kita sebagai umatNya harus senantiasa berubah menjadi lebih baik dan terus menuju kesempurnaan. Kedua, dasar dari semua perubahan itu adalah pembaruan budi, dan hasil dari pembaruan itu adalah semakin mengerti akan kehendak Allah. Dan ketiga, semua proses itu berjalan dalam semangat untuk memberikan yang terbaik, demi kemuliaan Allah.

Dalam ketiga hal itulah GKJ Gandaria mencoba untuk bergerak. Mulai dengan berusaha membenahi semua yang ada dalam dirinya, meninggalkan kebiasaan lama, mencipta hal-hal baru. Seperti yang saudara lihat dalam wujud fisik buku ini. Buku bernama Buku Pelayanan Jemaat. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya yang terekam dalam buku ini bukan semata-mata hasil kerja Majelis, bukan juga semata-mata hasil karya Badan Pembantu Majelis, namun hasil dari seluruh cipta, rasa dan karsa dari segenap jemaat GKJ Gandaria. Dengan demikian, buku ini bukan juga merupakan laporan pertanggungjawaban Majelis kepada jemaat, karena baik Majelis maupun jemaat ikut bertanggungjawab dalam terwujudnya seluruh kegiatan yang terekam dalam buku ini. Dengan kata lain, buku ini ibarat cermin bagi semua yang merekam seberapa baik kita sudah berubah, apa yang sudah kita persembahkan bagi Tuhan.

Perubahan lain yang tampak adalah struktur dan pola pelayanan Majelis. Mulai dari pembidangan Majelis dengan tugas-tugas khususnya. Ini adalah hasil dari sebentuk perubahan untuk melayani lebih baik. Pemahaman mengenai Majelis kelompok – yang selama ini kita anut - dengan sendirinya sudah berganti menjadi Majelis GKJ Gandaria secara utuh dan penuh. Dengan pembidangan itu pula maka ranah pelayanan menjadi semakin konkret.

Dari tahun ke tahun, selalu ada data yang diwacanakan. Namun kadang data-data itu tidak “berbicara”, sehingga timbul kesulitan ketika hendak membacanya. Dalam Buku Pelayanan Jemaat itu, coba disajikan rangkaian data yang “berbicara” sehingga diharapkan mempermudah proses “berkaca.”

Pertanyaan bagi kita sekarang adalah: bagaimana bentuk kita setelah berkaca? Apakah sudah cukup baik, indah dipandang, atau masih ada lubang di sana-sini? Apakah wajah kita sudah bersih dan mulus, atau masih terdapat noda hitam di sana-sini? Yang diperlukan adalah sebuah kejujuran untuk mengakui, kalau pun ada yang kurang, sehingga bukan buruk muka cermin dibelah yang terjadi.

Paling tidak, angin perubahan itu sudah mulai menghembus ke arah kita. Kalau kita semua mengharapkan hal-hal yang lebih baik, mari bersama-sama kita berubah. Menjadi yang terbaik dan memberi yang terbaik bagi kemuliaan Kristus, dan biarlah Kristus dimuliakan dalam semua proses kita. Amin.


“…the wind of change blows straight into the face of time, like the storm wind that will ring the freedom bell for peace of mind…”





Nur Ilahi terpancar abadi, menerawang sukma, menebar asa...
Pdt. Didik Christian Adi Cahyono.


_____________________
[1] Wind of Change, sebuah lagu karya grup musik Scorpions asal Jerman. Tulisan ini dibuat untuk Buku Pelayanan Jemaat GKJ Gandaria 2007.

BE THE CHANGE YOU WISH TO SEE IN THE WORLD[1]

Roma 12:1-8


Hari ini, delapan tahun yang lalu, saya berada diantara ratusan, bahkan mungkin ribuan pemuda dan mahasiswa, memenuhi alun-alun utara keraton Yogyakarta, mendengarkan maklumat Sri Sultan Hamengku Buwono X yang mendukung gerakan reformasi mahasiswa. Hari itu semua toko-toko di sepanjang jalan protokol di kota pelajar itu tutup. Di depan toko, ruko, atau warung, bahkan rumah penduduk, disediakan beraneka makanan, mulai dari arem-arem, lemper, tempe, dan lain-lain sampai berbotol-botol air mineral. Semuanya disediakan untuk arak-arakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta yang berjalan dari kampus masing-masing menuju alun-alun utara. Sehari kemudian, Suharto mengundurkan diri.

Dalam hati saya terharu melihat partisipasi warga masyarakat Yogyakarta waktu itu. Mereka rela meninggalkan aktivitasnya, bahkan menyiapkan perbekalan untuk mahasiswa yang berdemo – yang juga lapar! Saya sempat saya mengajak ngobrol beberapa warga yang antusias melempar-lemparkan bungkusan makanan pada barisan mahasiswa di jalan Malioboro. Satu kesamaan alasan mengapa mereka melakukan itu; mereka ingin melihat perubahan! Karena begitu tingginya kerinduan untuk melihat perubahan, sampai mereka merelakan uang dan waktunya, untuk menyiapkan makanan bagi para demonstran. Mungkin pengorbanan para warga itu tidak seberapa, bila dibandingkan dengan pengorbanan para pahlawan reformasi dalam tragedi Trisakti, yang harus meregang nyawa demi satu harapan: perubahan.

Semenjak saat itu, wajah negeri ini berubah! Dulu, orang takut untuk mengungkapkan pendapat yang berbeda. Sekarang semua orang berteriak ingin pendapatnya didengarkan. Tak jarang ada pedapat yang asal berbeda. Akhirnya, semuanya jadi tidak beraturan. Sekali merdeka, merdeka sekali! Begitu mungkin semboyannya. Saking merdekanya, seorang pencuri sandal harus mati mengenaskan, dipukuli warga di depan Universitas Putra Bangsa, Surabaya. Saking merdekanya, di suatu Gereja X, ada yang merasa berhak memukul pendeta karena berbeda pendapat. Mungkin benar kata orang-orang: Itulah Indonesia!

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Setiap kita pasti menginginkan perubahan. Bahkan, tanpa sadar, kita sendiri juga mengalami perubahan itu. Delapan tahun yang lalu, saya masih atletis. Rambut saya tebal. Sekarang berubah menjadi gemuk dan rambut mulai menipis. Yah… memang benar bahwa tiada yang tidak berubah. Yang penting untuk kita pertanyakan sekarang adalah: perubahan yang bagaimana dan ke arah mana?

Paulus, di dalam suratnya untuk jemaat di Roma, dengan gamblang memberikan jawaban atas dua pertanyaan di atas di dalam ayat 2. Yang pertama adalah: tidak menjadi serupa dengan dunia. Situasi dan kondisi dunia kita sudah sedikit saya uraikan di atas. Sama-sama mencari nafkah, seseorang bisa menjadi tukang sapu jalan tol, yang lain bisa jadi bandar narkotika dan obat terlarang. Sama-sama ingin mendapatkan hiburan, yang satu pergi menemui majelis atau pendeta untuk bercurhat, yang lain tenggelam dalam napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif). Menurut saudara, mana yang serupa dengan dunia, mana yang tidak?

Yang kedua – ini poin pentingnya – adalah: berubah! Perubahan adalah suatu proses. Ada situasi awal, kemudian ada proses yang terjadi, lalu ada hasil dari keseluruhan proses. Hasil akhir ini bermacam-macam. Ada yang sama dengan situasi awal, ada juga yang sama sekali berbeda. Misal, ada seorang pencopet yang tertangkap. Kemudian dimasukkan ke dalam lembaga pemasyarakatan. Ketika keluar, dia bisa jadi orang baik-baik, atau bisa juga jadi perampok. Dia mengalami perubahan juga, tetapi yang mana?

Ayat 2 dengan gamblang menjelaskan bahwa perubahan itu harus didasari oleh pembaharuan budi. Tidak asal berubah, melainkan berubah menurut pembaharuan budi! Secara sederhana, bisa dikatakan berubah menjadi lebih baik. Parameternya: dapat membedakan mana kehendak Allah dan mana yang bukan. Kehendak Allah itu yang bagaimana? Dijelaskan secara sederhana dalam ayat tersebut, yaitu apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Kalau kembali pada kisah pencopet tadi, pasti saudara bisa dengan gampang menunjuk mana yang berubah menurut pembaharuan budi.

Lebih dalam lagi, kalau kita cermati keseluruhan perikop, kita akan menemukan bahwa semuanya itu diletakkan dalam kerangka bagaimana manusia merespon anugerah Tuhan. Respon atau jawaban tersebut diwujudkan dalam bentuk mempersembahkan hidup sebagai ibadah yang sejati. Mempersembahkan hidup sebagai persembahan dan ibadah sejati mengandaikan penghargaan akan hidup itu sendiri. Orang bisa menghargai hidupnya bila ia telah mengubah paradigma atau cara pandangnya, misalnya, hidup bukanlah suatu masalah untuk dipecahkan, melainkan rangkaian anugerah yang sudah sepatutnya disyukuri. Dari hal ini, kita bertemu lagi dengan yang namanya: perubahan.

Sekarang, kita kembali melihat diri kita sendiri. Tanpa terasa, hampir enam tahun kita mandiri. Perubahan, pasti sudah terjadi. Pertanyaannya adalah, sudah sejauh mana kita berubah? Ke arah mana gerangan perubahan itu terjadi? Atau malah belum sejauh itu. Jangan-jangan kita malah anti terhadap perubahan. Kita sudah merasa mapan, walau sebenarnya sedang terombang-ambing di dalam ketidakmapanan. Atau, dengan kencang meneriakkan perubahan, tetapi dia sendiri tidak berubah. Bisa juga, ia sangat mengharapkan situasi dunianya berubah, namun ia tidak melakukan apa-apa. Dalam hal ini kita bisa belajar dari Mahatma Gandhi. Judul renungan di atas sebenarnya merupakan satu ungkapan penting dari Gandhi. ”Be the change you wish to see in the world.” Berubahlah sejalan dengan perubahan yang kamu harapkan, begitu kira-kira terjemahan bebasnya. Artinya, sebelum menuntut orang lain berubah, kita harus berubah terlebih dahulu. Singkatnya: menjadi agen perubahan.

Tidak hanya Gandhi. Satu semboyan reformasi yang cukup terkebal adalah “eclesia reformata quia simper reformanda.” Gereja pembaharu haruslah selalu memperbaharui diri. Sangat menarik, sebab yang terjadi justru sebaliknya. Banyak gereja yang mengaku beraliran reformasi, namun malah enggan berubah, bahkan anti perubahan! “Pathok bangkrong,” begitu istilah orang Jawa. Padahal sejarah dunia sudah membuktikan bahwa yang anti terhadap perubahan akan tergilas zaman. Saudara-saudara pasti tahu kenapa Sekarang tidak ada lagi Pterodactyl, Tyranosaurs-rex, atau Triceratops dan Brontosaurs. Selain disebabkan adanya bencana alam, yang memunahkan, juga karena mereka berevolusi, berubah menyesuaikan diri dengan kondisi alam dan lingkungannya. Dari perubahan itu, muncullah spesies baru.

Kembali pada pembicaraan tentang gereja kita. Dalam tataran yang lebih luas, jajaran Gereja-gereja Kristen Jawa juga tengah mengalami perubahan. Misal, pada tahun 2005 diterbitkannya revisi Pokok-Pokok Ajaran GKJ, Tata Gereja, Tata Laksana, serta Pertelaan. Dalam proses revisi tersebut, muncul pemikiran-pemikiran baru yang menghembuskan angin perubahan, seperti mulai dipercakapkan dan dikaji Perjamuan Kudus untuk anak. Yang sudah tertuang dalam Tata Laksana; pergantian istilah dari “Pengakuan Dosa” diubah menjadi “Penerimaan Pertobatan.” Dulu siapa yang dilayani pertobatannya harus diumumkan sekali dalam warta gereja, sekarang tidak perlu lagi diwartakan. Pendek kata, mau tidak mau perubahan itu memang harus terjadi, seiring dengan kedalaman dan kedewasaan bergereja.

Bagaimana dengan kita? Apakah paradigma dan pola pikir kita akan tetap sama; tidak mau berubah menjadi lebih baik? Atau, kita boleh bersikap kritis, apakah perubahan yang kita lakukan sudah menuju ke arah yang lebih baik? Atau, jangan-jangan, semuanya itu hanya slogan semata, untuk mempermanis penampilan kita, namun justru kita sendiri tidak melakukan apa-apa, bahkan membenci orang yang mau berubah menjadi lebih baik. Satu hal yang pasti: berubahlah oleh pembaharuan budimu! Amin.


Nur Ilahi terpancar abadi, menerawang sukma, menebar asa...
Pdt. Didik Christian Adi Cahyono.


_____________________
[1] Salah satu kata mutiara Mahatma Gandhi. Tulisan ini ditulis untuk Buku Pelayanan Jemaat GKJ Gandaria 2006.

LEBIH DARI YANG BIASA

Yohanes 14:15-27
Kisah Para Rasul 2:41-47

Jika kepada kita ditanyakan, apakah kita sudah menerima karunia Roh Kudus, saya yakin, pasti kita semua akan menjawab sudah! Secara legal-formal, dalam diri setiap orang Kristen Roh Kudus ada. Saya berani mengatakan fakta itu adalah hal bisa! Karena memang benar Roh Kudus, akan diam dalam setiap orang, seperti janji Yesus (Yoh 14:15-17). Lalu apa yang luar biasa? Apa yang lebih dari yang biasa?

Ini jawabnya! Ketika orang mau membuka diri terhadap karya Roh Kudus. Ia mau membiarkan dan merelakan dirinya dipimpin oleh kuasa Roh Kudus. Bukan lagi ”aku” yang berkuasa dalam dirinya, melainkan Roh Kudus yang berkehendak dan memerintah dalam hidupnya. Penyerahan diri pada pimpinan Roh Kudus itu nampak dalam hal-hal yang sungguh amat nyata: adanya perubahan kualitas hidup menjadi lebih baik!

Kita bisa melihat dan mencermati pola kehidupan jemaat mula-mula (Kis 2:41-47). Mereka tumbuh karena pengajaran dari para rasul yang mau membiarkan dirinya dipimpin oleh Roh Kudus sehingga memiliki keberanian. Mereka mau membuka diri terhadap karya Roh Kudus yang ditandai dengan baptisan. Mereka meninggalkan perikehidupan lama mereka dan menyekutukan dirinya menjadi satu komunitas baru. Dan yang menarik, komunitas baru ini memiliki ciri khas yang sangat mengesankan. Ada kesehatian, kebersamaan, senasib sepenanggungan. Saling menganggap orang lain berharga. Ada sukacita. Ada ketulusan. Semuanya dilakukan demi mewujudkan kehidupan bersama yang lebih baik.

Kita adalah komunitas orang yang percaya bahwa Roh Kudus telah turun ke atas kita. Sekarang pertanyaannya adalah apakah kualitas hidup kita sudah berubah menjadi lebih baik, atau masih biasa-biasa saja? Amin.