21 Oktober 2009

HENDAKLAH TERANGMU BERCAHAYA



Matius 5:13-16, 6:22-23

Mengapa orang selalu menyalakan lampu, entah itu lilin, senthir, teplok, pelita, dian, pandam, dan berbagai sebutan yang lain, pada waktu malam? Sederhana jawabnya. Karena kalau dinyalakan siang hari, terang yang terpancar tidak bisa dirasakan, kalah dengan terang yang terpancar dari matahari. Di samping itu, orang baru merasa butuh penerangan kalau ia berada dalam kegelapan. Sekecil apa pun terang itu, pasti berguna bila ia berada di tengah kegelapan. Bahkan sepekat apa pun kegelapan itu.

Identitas yang diberikan Yesus pada murid-murid serta pengikutNya sederhana: “Kamu adalah terang dunia.” Konsekuensinya adalah kita harus bisa menunjukkan “terang” kita. Namun ketika kita melihat betapa pekat dan kelamnya kegelapan yang ada, ketakutan dan kebimbangan segera menyergap kita. Akhirnya, daripada mencoba untuk menunjukkan terang, kita malah menutupinya agar tidak terlihat menyolok bila ditengah kegelapan. Atau, kalau pun berani memancarkan terang, itu hanya terjadi di siang hari, serta bersama-sama dengan banyak terang yang lain. Takut berkorban, takut rugi, dan takut-takut yang lain menghinggapi perasaan kita.

Memang kita hidup di zaman yang aneh. Ketika orang justru lebih suka membeberkan keburukan orang lain daripada kebaikannya. Ketika orang lebih suka mencibir orang lain daripada membantunya. Ketika kejujuran dianggap sebagai sebuah kehancuran. Ketika suara nurani dibilang tidak tahu diri. Bahkan ketika orang takut menyatakan kebenaran, karena dunia kita sudah terbisa dengan yang tidak benar. Namun justru di tengah situasi seperti itulah sabda Yesus terasa kembali aktual. Bukankah lampu – apa pun macam dan jenisnya – harus dengan sekuat daya memberikan nyalanya agar terangnya bermanfaat. Seperti halnya garam yang harus larut terlebih dahulu agar masakan terasa sedap.

Yesus telah mengatakan bahwa kita adalah terang. Jadi bersinarlah!

KONSEKUENSI DARI SEBUAH KONSISTENSI


2 Samuel 6:1-5, 12b-19, Mazmur 24, Efesus 1:3-14, Markus 6:14-29

Maut menghampiri Yohanes Pembaptis melalui Herodes. Kepala Sang Pembuka Jalan itu harus terpisah dengan tubuhnya hanya karena Herodes mau mencoba konsisten dengan apa yang telah dijanjikannya kepada anak perempuan Herodias. Justru Herodiaslah yang sakit hati pada Yohanes ketika Herodes memperistrinya, walau ia sudah bersuamikan Filipus, saudara Herodes. Akhirnya kesempatan itu tiba. Herodes berjanji akan memberikan apa saja yang diminta anak perempuan Herodias, yang telah membuatnya terpana dengan tariannya. Melalui anaknya, Herodias meminta kepala Yohanes Pembaptis berada di talam. (Markus 6:25) Herodes konsisten dengan kata-katanya, walau sebenarnya hatinya sedih. Konsekuensi dari konsistensinya membuat seorang hamba Tuhan tewas.

Berbicara soal konsistensi, tentu kita tidak bisa tidak, kita harus juga berbicara tentang Yohanes Pembaptis. Sejak semula ia konsisten menjalani peran yang diberikan Tuhan padanya. Sebagai pembuka jalan bagi Yesus, ia melakukan dengan setia, walau mungkin dianggap aneh oleh orang sekitarnya. Keberaniannya untuk menyatakan kebenaran Allah tidak pandang bulu. Ia berani mengkritik penguasa yang berlaku salah – dalam hal ini Herodes. Konsekuensi dari konsistensi Yohanes adalah kematian yang mengerikan. Daud rela dipandang rendah oleh istrinya, Mikhal. Dalam prosesi pemindahan Tabut Perjanjian, ia menari dengan hanya memakai baju efod, baju lapisan luar dari jubah imam yang tidak menutupi seluruh tubuhnya. (2 Samuel 6:14-16) Ia konsisten menghormati Tuhan dan kesucian Tabut-Nya dengan menunjukkan kemurniannya hatinya dengan hanya memakai baju efod.

Pertanyaan yang harus kita pergumulkan dan jawab saat ini adalah: apakah kita konsisten dengan panggilan kita, sebagaimana dinyatakan dalam Efesus 1:4 “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.” Kita dipilih Tuhan agar kita hidup kudus dan tak bercacat dihadapan-Nya. Kalau kita konsisten dengan pemilihan itu, maka adalah hidup kita harus menyatakan kesucian dan kemurnian serta kekudusan Allah. Ini tidak mudah karena tawaran untuk hidup dalam noda dan ketidaksucian sangat menggoda. Bahkan bisa jadi, kita akan ditinggalkan oleh banyak orang jika kita konsisten menjalani panggilan dalam kesucian ini. Beranikah kita untuk tetap konsisten dan siap untuk menerima konsekuensinya? Amin.

|d|c|a|c|

SULIT, TETAPI MUNGKIN

Ayub 23:1-17; Mazmur 90:13-17; Ibrani 4:12-16; Markus 10:17-31

Walaupun pada akhirnya ia bisa menerima semua penderitaannya (pasal 42), Ayub sempat mengalami ketegangan dalam dirinya. Ia merasa bahwa semua yang terjadi atas dirinya adalah bukan karena kesalahannya. Bahkan ia sempat menyalahkan Tuhan (ayat 17). Tidak hanya sekali ia merasa benar. Kalau kita mencermati pasal 3, 10, 13 dan 31 kita akan menemukan bahwa Ayub terus merasa tidak bersalah dan membela diri atas semua yang terjadi. Ayub sulit untuk menerima kondisinya. Ia merasa menyesal telah dilahirkan dan hidup, namun pada akhirnya ia benar-benar merendahkan diri di hadapan Tuhan. Akhirnya Tuhan memulihkan keadaannya. Suatu perubahan yang luar biasa sulit, tetapi bisa dilakukan Ayub.

Sama halnya dengan kisah pengajaran Yesus mengenai betapa sulitnya orang kaya masuk dalam kerajaan Allah. Yesus bahkan memberi perbandingan lebih mudah onta melewati lobang jarum ketimbang orang kaya masuk kerajaan Allah (ayat 25). Hal ini terjadi karena umumnya orang akan lebih berat meninggalkan hartanya daripada meninggalkan yang lain (Mrk 10:22). Apakah memang tidak ada kemungkinan bagi orang kaya untuk masuk dalam kerajaan Allah? Masih mungkin! Asalkan dia bisa melepaskan kelekatan pada hartanya. Mungkin sedikit, atau bahkan sangat sulit. Sesulit onta yang melewati lobang jarum. Lobang jarum adalah pintu kecil yang ada di sekeliling tembok kota Yerusalem, sebagai sarana keluar masuk orang ketika pintu gerbang utama telah ditutup saat malam (istilah bahasa Jawa: “lawang butulan”). Besarnya biasanya hanya seukuran orang. Onta bisa melewatinya, namun dibutuhkan usaha keras, baik dari onta maupun pemiliknya. Memang sulit, tetapi mungkin untuk dilakukan.

Hari ini kita memasuki Masa Penghayatan Hidup Berkeluarga (MPHB). Tema MPHB tahun ini adalah “Keluarga Peduli Lingkungan.” Mungkin saat ini sebagai keluarga kita bisa saja merasa benar seperti Ayub. Kerusakan lingkungan, gundulnya hutan, banjir, pemanasan global bisa jadi memang bukan salah kita. Kita terlahir dan berada di bumi yang kondisinya sudah semakin kritis juga bukan salah kita. Akan tetapi apalah persoalannya akan usai kalau kita hanya sibuk membela diri dan merasa benar? Tidak! Kita harus berubah! Mengubah paradigma berpikir dan bahkan mengubah pola hidup kita agar kerusakan bumi bisa kita kurangi. Sulit? Bisa jadi sangat sulit! Apalagi kalau kita sudah terbiasa dengan pola hidup yang tidak ramah dengan lingkungan. Akan tetapi sesulit apa pun itu, masih dimungkinkan bagi kita untuk bertindak. Mari kita membangun optimisme untuk menyelamatkan bumi bagi anak cucu kita. Sulit, tetapi mungkin! Amin.

|d|c|a|c|