Matius 5:13-16, 6:22-23
Mengapa orang selalu menyalakan lampu, entah itu lilin, senthir, teplok, pelita, dian, pandam, dan berbagai sebutan yang lain, pada waktu malam? Sederhana jawabnya. Karena kalau dinyalakan siang hari, terang yang terpancar tidak bisa dirasakan, kalah dengan terang yang terpancar dari matahari. Di samping itu, orang baru merasa butuh penerangan kalau ia berada dalam kegelapan. Sekecil apa pun terang itu, pasti berguna bila ia berada di tengah kegelapan. Bahkan sepekat apa pun kegelapan itu.
Identitas yang diberikan Yesus pada murid-murid serta pengikutNya sederhana: “Kamu adalah terang dunia.” Konsekuensinya adalah kita harus bisa menunjukkan “terang” kita. Namun ketika kita melihat betapa pekat dan kelamnya kegelapan yang ada, ketakutan dan kebimbangan segera menyergap kita. Akhirnya, daripada mencoba untuk menunjukkan terang, kita malah menutupinya agar tidak terlihat menyolok bila ditengah kegelapan. Atau, kalau pun berani memancarkan terang, itu hanya terjadi di siang hari, serta bersama-sama dengan banyak terang yang lain. Takut berkorban, takut rugi, dan takut-takut yang lain menghinggapi perasaan kita.
Memang kita hidup di zaman yang aneh. Ketika orang justru lebih suka membeberkan keburukan orang lain daripada kebaikannya. Ketika orang lebih suka mencibir orang lain daripada membantunya. Ketika kejujuran dianggap sebagai sebuah kehancuran. Ketika suara nurani dibilang tidak tahu diri. Bahkan ketika orang takut menyatakan kebenaran, karena dunia kita sudah terbisa dengan yang tidak benar. Namun justru di tengah situasi seperti itulah sabda Yesus terasa kembali aktual. Bukankah lampu – apa pun macam dan jenisnya – harus dengan sekuat daya memberikan nyalanya agar terangnya bermanfaat. Seperti halnya garam yang harus larut terlebih dahulu agar masakan terasa sedap.
Yesus telah mengatakan bahwa kita adalah terang. Jadi bersinarlah!