Imamat 25:1-17, Mazmur 34, 1 Petrus 3:13-22, Yohanes 14:15-20
Dalam dunia pewayangan, kita mengenal istilah “Sang Pamomong” yang mengacu pada sosok dewa yang ditugaskan secara khusus untuk menuntun, membantu – bahkan jadi abdi – bagi sejumlah ksatria, dengan harapan sang ksatria lurus jalannya, luhur budi pekertinya. Ada banyak tokoh “Pamomong” ini, salah satunya adalah Semar. Semar sebenarnya adalah Bathara Ismaya, kakak dari Bathara Guru, pemimpin tertinggi para dewa. Tugas Semar adalah menyertai para ksatria Pandhawa. Ia selalu berada, beserta dan mengabdi pada Pandhawa.
Dalam dunia kekristenan, kita juga mengenal istilah “Sang Pamomong.” Istilah itu dikenakan pada sosok yang dijanjikan untuk menggantikan Yesus di dunia. Bedanya, keberadaan Semar bagi Pandhawa hanyalah sekedar berada di sisi Pandhawa secara fisik. Kehadirannya hanya sekedar sebagai pendamping dan penyerta. "Sang Pamomong" dalam iman Kristen adalah Roh Kebenaran. Dialah Sang Penolong yang tidak hanya berada, mendampingi dan beserta, tetapi lebih lagi, Ia akan tinggal di dalam kita. Inilah yang dijanjikan Yesus bagi para muridNya. “…sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu,” begitu kata Yesus. Roh itu melebihi roh-roh yang lain. Keberadaannya melebihi pamomong-pamomong yang lain. Semar hanya bisa di sisi Pandhawa, tetapi Sang Penolong, Roh Kebenaran berada di dalam diri kita. Roh Kebenaran itu tidak hanya above us atau among us, tetapi sekaligus juga within us.
Yang menjadi pertanyaan dan pergumulan kita sekarang adalah: kalau di dalam dunia pewayangan, Pandhawa selalu nurut dan manut dengan Semar, pamomong dan penolong mereka, bagaimana dengan kita? Apakah kita juga manut dan nurut dengan pamomong dan penolong kita, Sang Penolong Sejati yang tinggal di dalam kita?
01 Maret 2009
Dhandhanggula
KETIKA TUHAN MEMINTA…
Kejadian 22:1-19
Adalah biasa kalau kita meminta sesuatu atau bahkan banyak hal kepada TUHAN. Di dalam doa-doa yang kita ucapkan, serasa tidak lengkap bila tanpa menyebutkan permintaan. Walau dalam praktek permohonan itu diletakkan dalam bagian akhir dari doa kita, tetapi toh tetap ada. Tidak ada yang salah terhadap kelaziman ini. Ini hal biasa. Sekarang, pernahkah saudara memikirkan bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya? Bukan kita yang meminta kepada TUHAN, melainkan TUHAN yang meminta kepada kita untuk melakukan sesuatu? Ini baru luar biasa…
Perikop kita kita saat ini menceritakan hal yang luar biasa itu. Kisah sedih keluarga Abraham yang diminta TUHAN untuk mempersembahkan anak tunggalnya, Ishak, menjadi korban bakaran. Memang perikop kita tidak menceritakan bagaimana pergumulan yang harus dirasakan oleh Abraham, dan juga istrinya. Namun, coba kita sejenak berempati dan masuk ke dalam dunia teks ini. Selama 100 tahun Abraham menantikan penggenapan janji TUHAN bahwa ia akan diberi keturunan sebanyak bintang di langit dan pasir di pantai. Ia menunggu hingga 1 abad untuk dapat mendengar tangisan anaknya. Memang sih, ketika usia 86 tahun ia sudah dikaruniai anak, Ismael, tetapi itu bukan dari rahim istrinya, Sara, melainkan dari udak perempuan istrinya, Hagar. Jadi bayangkan saudara-saudara, setelah menunggu sekian lama untuk menimang anak, ehh.. baru beberapa lama TUHAN memintanya untuk mengorbankan anaknya itu. Ini berarti Abraham harus merelakan kematian anak yang dikasihinya. Dan yang lebih menyayat hati, anak itu harus mati di tangannya sendiri.
Namun, memang tidak salah kalau Abraham disebut sebagai Bapa Orang Beriman. Kadar iman yang ditunjukkan Abraham memang luar biasa! Dari sejak semula ia dipanggil dari tanah Ur Kasdim menuju ke tanah terjanji yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Tanpa Tanya, ia berangkat memenuhi panggilan TUHAN. Sangat berbeda dengan kita. Kalau diberi tugas atau mandat, sering lebih banyak protes. Bukan bagianku lah, ini cocok untuk si itu lah, apa untung ruginya buat aku lah, dll. Juga ketika ia sekali lagi ketiban sampur untuk memenuhi panggilan TUHAN agar mengorbankan Ishak. Tanpa secuil pun tanya ia berangkat, walau kita bisa membayangkan bagaimana galaunya perasaan Abraham. Ketika sampai di salah satu gunung di tanah Moria, terjadi lagi sebuah fragmen yang sangat menyayat hati. Perhatikan ayat 7. Ishak menanyakan di mana anak domba untuk korban bakaran. Dengan penuh keyakinan Abraham menjawab TUHAN yang akan menyediakan. Ishak belum tahu bahwa sebenarnya dirinyalah yang akan berperan sebagai korban bakaran itu. Bahkan ia tidak memberontak ketika kemudian ayahnya mengikatnya dan membaringkan di atas tumpukan kayu serta kemudian bersiap untuk menyembelihnya.
Untunglah kemudian Malaikat TUHAN datang dan memerintahkan Abraham untuk tidak membunuh anaknya. Melaikat itu juga mengungkapkan pengakuan atas iman yang dimiliki Abraham, bahwa ia, didasari atas sikap takut akan TUHAN, tidak segan-segan menyerahkan anak tunggalnya kepada TUHAN. (ayat 12) Abraham lulus dari ujian. Perintah TUHAN untuk mengorbankan Ishak adalah suatu pendadaran bagi Abraham, apakah ia merelakan apa pun juga, termasuk di dalamnya anak lagi-laki yang sekian lama dinantikan kehadirannya, untuk diserahkan kepada TUHAN. Dari sini kita bisa belajar bahwa takut akan TUHAN adalah segala-galanya. Bukan lagi suatu kegelisahan batin yang luar biasa, melainkan suatu penghormatan dan kepatuhan kepada TUHAN. Dalam ungkapan bahasa Jawa kita biasa mendengar ajrih asih mring Gusti, pakering. Dalam peristiwa pengorbanan ini kita juga melihat bahwa kerelaan Abraham untuk mematuhi dan memenuhi permintaan TUHAN bukan hanya terkait dengan hati seorang ayah yang membawakan korban tertinggi, yaitu kasihnya kepada anak, melainkan juga sebagai seorang percaya yang menyerahkan dan mengorbankan segala apa yang diterima dari TUHAN untuk dipersembahkan kepada TUHAN pula. Dalam hal inilah kelulusan Abraham ditentukan. TUHAN yakin akan kualitas iman Abraham. Karena itulah kemudian TUHAN menyediakan seekor domba jantan yang kemudian dikorbankan Abraham sebagai pengganti anaknya. Terjadi seperti apa yang diyakini Abraham, bahwa TUHAN akan menyediakan anak domba sebagai korban bakaran. (ayat 8) Tidak hanya itu, TUHAN juga menganugerahkan berkat yang melimpah bagi Abraham. (ayat17-18)
Kita sudah sering meminta melakukan sesuatu bagi kita. Bukan sering lagi, melainkan kita selalu meminta. Sekarang coba renungkan, kira-kira apakah kita juga memenuhi apa permintaan TUHAN bagi hidup kita? Atau lebih parah lagi kita malah tidak pernah tahu apa permintaan TUHAN dalam hidup kita. Kita terlalu asyik dengan perhitungan-perhitungan nalar yang kita sendiri. Kita terlalu banyak mempertimbangkan ketika hendak melakukan sesuatu yang sebenarnya TUHAN kehendaki untuk kita lakukan. Kita meyakini bahwa waktu yang ada adalah karunia TUHAN, namun ketika suatu saat kita diminta untuk mempersembahkan waktu itu bagi Dia, muncul seribu alasan dan dalih. Bahkan saya pernah mendengar ada seorang yang tidak bisa ikut kegiatan di gereja karena dilarang oleh orang tuanya. Jauh rumahnya, banyak tugas sekolah, dll. menjadi dalihnya. Padahal hanya waktu yang diminta, belum yang lain. Lagi saudara yang terkasih. Kita juga menghayati bahwa keluarga kita adalah karunia TUHAN. Kita diberikan seorang yang mau menerima dan mengerti kita, pasangan kita. TUHAN tidak meminta banyak, hanya agar kita saling asah, asih dan asuh. Bukan untuk orang lain permintaan itu, melainkan untuk kita sendiri, namun, apa ya sudah dengan sungguh-sungguh kita lakukan. Coba ingat panggilan TUHAN bagi orang yang menikah.
1. Mewujudkan kesatuan keluarga.
2. Menjaga kelestarian keluarga.
3. Menjaga kekudusan keluarga.
4. Silih asah, asih dan asuh berdasarkan firman TUHAN.
5. Senantiasa bersyukur.
Waduh, sudah lupa, tuh. Pendek kata, ternyata ada banyak permintaan TUHAN yang justru pada akhirnya tertuju untuk kita juga. Tapi kok ya cik uangel men se...!!
Berikutnya, iman kita sering kali iman yang penuh dengan syarat. Kita baru percaya ketika kita melihat. Abraham menunjukkan contoh yang luar biasa ketika Ishak menanyakan dimana domba korbannya. Abraham menjawab nanti disediakan TUHAN. Memang benar, TUHAN menyediakan, tetapi itu ada setelah Abraham lulus dari ujian, yang dengan ikhlas mengorbankan anak tunggalnya. Sering kita tidak mau berbuat sesuatu karena falsafah mengko gek.... TUHAN memberi berkat atas dasar keyakinan yang ada. Abraham yakin TUHAN akan menyediakan, dan ia mendapatkan jawaban. Santo Agustinus pernah mengatakan : Faith is to believe what we do not see; and the reward of this faith is to see what we believe. Janji TUHAN akan damai sejahtera itu pasti, namun karena kita tidak mempercayai, ya akhirnya yang terlihat adalah dukacita, nestapa, nelangsa, dan kawan-kawannya. Ada berbagai pergumulan, bahkan mungkin kesedihan yang menimpa kita, namun janji TUHAN pun tidak bisa diingkari, problemnya adalah apa kita percaya, seperti percaya yang ditunjukkan Abraham? Ternyata, walaupun damai sejahtera itu anugerah, namun harus ada perjuangan untuk mendapatkannya. Dari kisah Abraham nempak jelas juga, bahwa perjuangan itu bukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk kita juga. Janji TUHAN sudah terucap, tinggal bagaimana kita menanggapi dan menjawab.
Adalah biasa kalau kita meminta sesuatu atau bahkan banyak hal kepada TUHAN. Di dalam doa-doa yang kita ucapkan, serasa tidak lengkap bila tanpa menyebutkan permintaan. Walau dalam praktek permohonan itu diletakkan dalam bagian akhir dari doa kita, tetapi toh tetap ada. Tidak ada yang salah terhadap kelaziman ini. Ini hal biasa. Sekarang, pernahkah saudara memikirkan bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya? Bukan kita yang meminta kepada TUHAN, melainkan TUHAN yang meminta kepada kita untuk melakukan sesuatu? Ini baru luar biasa…
Perikop kita kita saat ini menceritakan hal yang luar biasa itu. Kisah sedih keluarga Abraham yang diminta TUHAN untuk mempersembahkan anak tunggalnya, Ishak, menjadi korban bakaran. Memang perikop kita tidak menceritakan bagaimana pergumulan yang harus dirasakan oleh Abraham, dan juga istrinya. Namun, coba kita sejenak berempati dan masuk ke dalam dunia teks ini. Selama 100 tahun Abraham menantikan penggenapan janji TUHAN bahwa ia akan diberi keturunan sebanyak bintang di langit dan pasir di pantai. Ia menunggu hingga 1 abad untuk dapat mendengar tangisan anaknya. Memang sih, ketika usia 86 tahun ia sudah dikaruniai anak, Ismael, tetapi itu bukan dari rahim istrinya, Sara, melainkan dari udak perempuan istrinya, Hagar. Jadi bayangkan saudara-saudara, setelah menunggu sekian lama untuk menimang anak, ehh.. baru beberapa lama TUHAN memintanya untuk mengorbankan anaknya itu. Ini berarti Abraham harus merelakan kematian anak yang dikasihinya. Dan yang lebih menyayat hati, anak itu harus mati di tangannya sendiri.
Namun, memang tidak salah kalau Abraham disebut sebagai Bapa Orang Beriman. Kadar iman yang ditunjukkan Abraham memang luar biasa! Dari sejak semula ia dipanggil dari tanah Ur Kasdim menuju ke tanah terjanji yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Tanpa Tanya, ia berangkat memenuhi panggilan TUHAN. Sangat berbeda dengan kita. Kalau diberi tugas atau mandat, sering lebih banyak protes. Bukan bagianku lah, ini cocok untuk si itu lah, apa untung ruginya buat aku lah, dll. Juga ketika ia sekali lagi ketiban sampur untuk memenuhi panggilan TUHAN agar mengorbankan Ishak. Tanpa secuil pun tanya ia berangkat, walau kita bisa membayangkan bagaimana galaunya perasaan Abraham. Ketika sampai di salah satu gunung di tanah Moria, terjadi lagi sebuah fragmen yang sangat menyayat hati. Perhatikan ayat 7. Ishak menanyakan di mana anak domba untuk korban bakaran. Dengan penuh keyakinan Abraham menjawab TUHAN yang akan menyediakan. Ishak belum tahu bahwa sebenarnya dirinyalah yang akan berperan sebagai korban bakaran itu. Bahkan ia tidak memberontak ketika kemudian ayahnya mengikatnya dan membaringkan di atas tumpukan kayu serta kemudian bersiap untuk menyembelihnya.
Untunglah kemudian Malaikat TUHAN datang dan memerintahkan Abraham untuk tidak membunuh anaknya. Melaikat itu juga mengungkapkan pengakuan atas iman yang dimiliki Abraham, bahwa ia, didasari atas sikap takut akan TUHAN, tidak segan-segan menyerahkan anak tunggalnya kepada TUHAN. (ayat 12) Abraham lulus dari ujian. Perintah TUHAN untuk mengorbankan Ishak adalah suatu pendadaran bagi Abraham, apakah ia merelakan apa pun juga, termasuk di dalamnya anak lagi-laki yang sekian lama dinantikan kehadirannya, untuk diserahkan kepada TUHAN. Dari sini kita bisa belajar bahwa takut akan TUHAN adalah segala-galanya. Bukan lagi suatu kegelisahan batin yang luar biasa, melainkan suatu penghormatan dan kepatuhan kepada TUHAN. Dalam ungkapan bahasa Jawa kita biasa mendengar ajrih asih mring Gusti, pakering. Dalam peristiwa pengorbanan ini kita juga melihat bahwa kerelaan Abraham untuk mematuhi dan memenuhi permintaan TUHAN bukan hanya terkait dengan hati seorang ayah yang membawakan korban tertinggi, yaitu kasihnya kepada anak, melainkan juga sebagai seorang percaya yang menyerahkan dan mengorbankan segala apa yang diterima dari TUHAN untuk dipersembahkan kepada TUHAN pula. Dalam hal inilah kelulusan Abraham ditentukan. TUHAN yakin akan kualitas iman Abraham. Karena itulah kemudian TUHAN menyediakan seekor domba jantan yang kemudian dikorbankan Abraham sebagai pengganti anaknya. Terjadi seperti apa yang diyakini Abraham, bahwa TUHAN akan menyediakan anak domba sebagai korban bakaran. (ayat 8) Tidak hanya itu, TUHAN juga menganugerahkan berkat yang melimpah bagi Abraham. (ayat17-18)
Kita sudah sering meminta melakukan sesuatu bagi kita. Bukan sering lagi, melainkan kita selalu meminta. Sekarang coba renungkan, kira-kira apakah kita juga memenuhi apa permintaan TUHAN bagi hidup kita? Atau lebih parah lagi kita malah tidak pernah tahu apa permintaan TUHAN dalam hidup kita. Kita terlalu asyik dengan perhitungan-perhitungan nalar yang kita sendiri. Kita terlalu banyak mempertimbangkan ketika hendak melakukan sesuatu yang sebenarnya TUHAN kehendaki untuk kita lakukan. Kita meyakini bahwa waktu yang ada adalah karunia TUHAN, namun ketika suatu saat kita diminta untuk mempersembahkan waktu itu bagi Dia, muncul seribu alasan dan dalih. Bahkan saya pernah mendengar ada seorang yang tidak bisa ikut kegiatan di gereja karena dilarang oleh orang tuanya. Jauh rumahnya, banyak tugas sekolah, dll. menjadi dalihnya. Padahal hanya waktu yang diminta, belum yang lain. Lagi saudara yang terkasih. Kita juga menghayati bahwa keluarga kita adalah karunia TUHAN. Kita diberikan seorang yang mau menerima dan mengerti kita, pasangan kita. TUHAN tidak meminta banyak, hanya agar kita saling asah, asih dan asuh. Bukan untuk orang lain permintaan itu, melainkan untuk kita sendiri, namun, apa ya sudah dengan sungguh-sungguh kita lakukan. Coba ingat panggilan TUHAN bagi orang yang menikah.
1. Mewujudkan kesatuan keluarga.
2. Menjaga kelestarian keluarga.
3. Menjaga kekudusan keluarga.
4. Silih asah, asih dan asuh berdasarkan firman TUHAN.
5. Senantiasa bersyukur.
Waduh, sudah lupa, tuh. Pendek kata, ternyata ada banyak permintaan TUHAN yang justru pada akhirnya tertuju untuk kita juga. Tapi kok ya cik uangel men se...!!
Berikutnya, iman kita sering kali iman yang penuh dengan syarat. Kita baru percaya ketika kita melihat. Abraham menunjukkan contoh yang luar biasa ketika Ishak menanyakan dimana domba korbannya. Abraham menjawab nanti disediakan TUHAN. Memang benar, TUHAN menyediakan, tetapi itu ada setelah Abraham lulus dari ujian, yang dengan ikhlas mengorbankan anak tunggalnya. Sering kita tidak mau berbuat sesuatu karena falsafah mengko gek.... TUHAN memberi berkat atas dasar keyakinan yang ada. Abraham yakin TUHAN akan menyediakan, dan ia mendapatkan jawaban. Santo Agustinus pernah mengatakan : Faith is to believe what we do not see; and the reward of this faith is to see what we believe. Janji TUHAN akan damai sejahtera itu pasti, namun karena kita tidak mempercayai, ya akhirnya yang terlihat adalah dukacita, nestapa, nelangsa, dan kawan-kawannya. Ada berbagai pergumulan, bahkan mungkin kesedihan yang menimpa kita, namun janji TUHAN pun tidak bisa diingkari, problemnya adalah apa kita percaya, seperti percaya yang ditunjukkan Abraham? Ternyata, walaupun damai sejahtera itu anugerah, namun harus ada perjuangan untuk mendapatkannya. Dari kisah Abraham nempak jelas juga, bahwa perjuangan itu bukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk kita juga. Janji TUHAN sudah terucap, tinggal bagaimana kita menanggapi dan menjawab.
Menjadi Berkat Melalui Hati, Pikiran dan Perbuatan
Matius 15:10-20
Peribahasa mengatakan: “Dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu.” Saya berani mengungkapkan bahwa bagian dari manusia yang paling misterius adalah hatinya. Kalau sekedar menilai paras dan tampangnya, pasti kita semua tidak percaya bahwa Ryan adalah pelaku pembunuhan berantai yang menewaskan sebelas orang, termasuk seorang anak kecil. Kalau dilihat hanya pada saat-saat akan menjalani eksekusi, tidak ada orang yang percaya bahwa Sumiarsih adalah salah satu dalam pembunuhan sadis keluarga Adi Prayitno akhir dekade 80-an yang lalu. Kalau mencermati lembutnya tutur kata serta elegannya dandanan Artalyta, pasti kita tidak akan mengira kalau dibalik itu semua, dia melakukan tindak pidana korupsi. Atau yang paling terkenal, The Smiling General, Jenderal Suharto. Di balik senyumannya, diyakini dialah sosok yang seharusnya diadili sebagai penjahat HAM mengorbankan banyak orang semasa ia berkuasa.
Demikianlah, orang bisa saja berbuat baik, bermuka penuh senyum, lembah manah¸ andhap asor, dan lain-lain. Akan tetapi yang menjadi pertanyaannya adalah apakah sikap atau tindakan itu semua berasal dari ketulusan hati yang paling dalam? Bisa saja seseorang bersikap baik pada saya, tetapi sesungguhnya ia dendam pada saya. Bisa saja seseorang berlaku hormat pada kita, namun di belakang ia menusuk kita. Paras, perkatan, tindakan bisa dimanipulasi sedemikian rupa agar kebobrokan hati tertutupi. Inilah yang dikritik oleh Yesus dalam bacaan kita. Bukan yang masuk ke dalam mulut kita yang menajiskan, melainkan yang keluar dari mulut. Apa yang keluar dari mulut berasal dari hati. Hati kita bisa menjadi sumber berkat, sekaligus sumber laknat. Jadi, kalau selama ini anda selalu berpikiran negatif, bahkan buruk pada orang lain, bisa jadi justru andalah yang sebenarnya memiliki hati dan pikiran yang buruk. Mungkin hati buruk kita bisa kita tutupi dengan manisnya senyuman dan santunnya sikap, akan tetapi kenyataan pasti akan terungkap.
Hari ini kita diajak Yesus untuk mengolah hati kita. Mari kita jadikan tempat yang paling misterius itu menjadi sumber berkat, bagaikan sumber air jernih yang mengalir dan menyejukkan. Atau kita masih lebih senang memakai hati kita sebagai gudang sampah dan kotoran, yang bermuara pada buruknya pola pikir dan bobroknya tindakan kita? Hati kita mau kita jadikan sebagai sumber berkat atau sumber laknat?
*Think +, get +*
Langganan:
Postingan (Atom)