28 Februari 2009

Melibatkan Diri dalam Pewarisan Tradisi

Filipi 4:1-9

Surat Paulus Kepada Jemaat di Filipi ini ditulis ketika Paulus berada di penjara. Hatinya pada saat itu cemas karena ada pekerja-pekerja Kristen yang menentangnya. Juga karena di dalam jemaat di Filipi itu ada orang-orang yang mengajarkan ajaran-ajaran yang menyesatkan. Meskipun demikian surat Paulus ini bernada gembira dan penuh harapan. Apa sebabnya demikian? Tidak lain hanyalah karena Paulus percaya sekali kepada Kristus.

Ciri khas surat ini ialah tekanannya pada kegembiraan, keteguhan hati, kesatuan, dan ketabahan orang Kristen dalam mempertahankan percayanya kepada Kristus dan dalam menjalani hidup sebagai orang Kristen. Hal ini nampak sekali dalam teks di atas. Bahkan dalam ayat 9 dikatakan: “Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu.” Dengan kata lain, Paulus mengatakan bahwa jemaat di Filipi harus hidup sesuai dengan ajaran yang telah diajarkan Paulus. Kita tahu bahwa apa yang diajarkan Paulus adalah berdasarkan dari pengalaman dan penghayatan imnannya pada Yesus, Putra Allah.

Dari uraian di atas, kita bisa menemukan satu pola yang menarik; Yesus mengajar para murid-Nya, para murid (termasuk Paulus) mengajarkan apa yang diajarkan Yesus pada jemaat yang dibangunnya. Proses itu terus terjadi, bahkan hingga pada masa kita. Ada proses pewarisan tradisi iman yag berjalan. Iman kepada Kristus diajarkan, diwariskan dan dihidupi.

Kini dalam Masa Penghayatan Hidup Berkeluarga, kita diingatkan kembali pada proses di atas. Apakah kita, baik sebagai individu, ataupun sebagai keluarga telah terlibat dalam rangkaian proses pewarisan tradisi itu?

Mungkin juga timbul pertanyaan; tradisi apa yang kita wariskan? Jawabnya singkat: tradisi keyakinan keselamatan yang telah kita terima dari Allah. Tradisi keyakinan bahwa relasi kita dengan Allah telah dipulihkan-Nya pengorbanan Yesus.

Mari melibatkan diri dalam proses yang luar biasa ini.

Ubi caritas et amor, Deus ibi est.

Menembus Batas

Yunus 3:10-4:11, Mazmur 145:1-8, Filipi 1:21-30, Matius 20:1-16

Saya bisa membayangkan betapa jengkel dan sakit hati Yunus, ketika satu kenyataan yang belum ia pahami terbentang dihadapannya. Allah mengampuni orang Ninewe! Ninewe, yang adalah ibukota kerajaan musuh bebuyutan Israel, Asyur, yang berarti juga musuh bagi Yunus mendapat pengampunan dari Allah. Sungguh fakta ini tidak terpahami oleh Yunus. Sebenarnya Yunus tahu betapa pemurahnya Allah. Itu sebabnya ia lebih memilih melarikan diri ke Tarsis, ketimbang menjalankan perintah Allah ke Ninewe (ayat 2). Mungkin ia tidak ingin Allah mengampuni orang-orang Ninewe, yang adalah musuh negaranya. Namun Allah berkehendak lain. Pengampunannya melebihi batasan-batasan yang diciptakan oleh Yunus.

Kisah orang-orang upahan di kebun anggur jug amenunjukkan betapa tak terselami karya Allah. Menurut perhitungan manusia, pastilah pekerja yang terakhir masuk kebun anggur akan mendapatkan lebih sedikit daripada pekerja yang dari pagi menggarap kebun anggur itu. Namun perhitungan itu dijungkirbalikkan dengan pemahaman yang sulit kita mengerti bahwa orang terakhir akan menjadi yang pertama dan orang pertama akan menjadi yang terakhir(ayat 16).

Dalam dua hal di atas inilah akhirnya menyadarkan kita bahwa Allah dan karya-Nya tidak bisa dimasukkan dan dibatasi dalam konsep-konsep nalar dan akal budi manusia. Konsep-konsep yang dicipta manusia membuat Allah dan karya-Nya terkungkung dan terkotak-kotak. Tanpa sadar kita pun telah menempatkan Allah dalam kotak-kotak pikiran dan konsep kita. Atau jangan-jangan kita sudah sampai pada tahap beriman kepada Allah yang kita ciptakan sesuai dengan konsep kita?

Mari saudara-saudara, mulai saat ini kita buka hati, buka pikiran, buka rasa kita, untuk merasakan Allah dan karya-Nya yang tidak terbatas, yang mampu menembus batasan-batasan yang dibuat manusia. “Besarlah Tuhan dan sangat terpuji, dan kebesaran-Nya tidak terduga.” (Maz 145:3)